Wednesday, January 2, 2013

Salah Kaprah Menempatkan Imam

imageINI adalah catatan kecil lama, yang saya modifikasi ulang sesuai situasi kekinian. Ini adalah cerita tentang mindset keagamaan sekarang, yang kalau boleh saya beropini, benar-benar mbeleset. 


Umat modern, yang mengaku percaya Tuhan sebagai pemilik dan pengendali seluruh isi semesta alam ini, terkesan malah sama sekali tak punya takut pada Dzat serba-Maha itu. Umat lebih lebih takut pada imam, se-mbeleset apapun ajarannya. Padahal, jelas-jelas seorang imam itu nggak ada apa-apanya dibanding Tuhan. Lha wong imam itu kan juga manusia, ciptaan Tuhan.


Ini catatan kecil tentang ke-taktakut-an umat pada Tuhan, lebih tunduk pada titah imam dan mengesampingkan firman Tuhan. Daripada nantinya cerita ini jadi fitnah yang terkesan menjelek-jelekkan orang lain, saya contohkan pengalaman diri saya sediri saja.


Sahibul hikayat, awal tahun 2011 lalu, saya yang punya hajat untuk “mencoba kenal” Tuhan mendapat bimbingan dari seorang imam. Orang ini rock ‘n roll abis. Dia selalu memandang Islam dalam koridor paling sederhana, aplikatif dalam kehidupan sosial, tapi maknanya begitu mengena. Panggil saja namanya Mas Topan.


Dalam kondisi jiwa terkoyak-koyak, merasa kehilangan dan hampa tanpa tujuan, alam semesta mempertemukan saya dengan Mas Topan. Dia adalah seorang ajengan, atau kiai dalam bahasa Sunda, asli didikan hakekat-tauhid Banten. 


Setelah beberapa kali perbincangan, saya merasa cocok dengan ajarannya yang sederhana, rock ‘n roll, tapi mudah dicerna. Saya oun semakin dekat dengannya dan minta berbagai macam petunjuk untuk mengisi jiwa saya yang nihil. 


Dengan senyum dan tangan terbuka dia menerima saya. Pertama-tama dia mengingatkan kembali saya pada tentang syariat sebagai seorang muslim. Yang harus saya lakukan untuk menambal iman saya yang jebol adalah; salat, baca Quranulkarim, dan puasa.


Saya nurut, lha yang merintah orang yang saya pandang ngerti. Nurut, karena waktu itu saya merasa tidak mengerti apa-apa sama sekali tentang jalan menuju Tuhan. Segala petunjuknya saya ho-oh saja. Disuruh salat, saya salat. Disuruh ngaji, saya ngaji. Disuruh puasa, ya saya puasa.


Pada suatu Senin yang sangat terik, saya dianjurkannya menjalankan puasa sunah. Katanya, untuk membersihkan jiwa saya agar bisa lebih dekat dengan Sang Khalik. Puasa memang satu-satunya ibadah yang khusus dipersembahkan untuk Tuhan. Sementara profit dari ibadah lain, seperti salat, beramal, bahkan naik haji, adalah untuk manusia sendiri. Quran menjelaskan semua tentang kedudukan dan peruntukan ibadah itu.


Nah, di tengah-tengah acara puasa di hari yang terasa menyembelih kerongkongan itu, saya diajak Mas Topan berkeliling kota. Tepat jam 12 siang. Matahari sedang angkuh-angkuhnya. Saya nurut, lha yang minta imam.


Di tengah perjalanan, tiba-tiba dia mengajak saya mampir ke sebuah warung nasi sate-gule kambing. Lho, saya kan puasa? “Sudahlah, ayo mampir. Aku yang bayar,” kata Mas Topan. Nada bicaranya sangat meyakinkan, seperti biasanya. Ya, mau tak mau, karena yang ngajak imam, manut. Kami masuk ke warung, dan kami pesan dua porsi nasi sate gule kambing dan dua gelas besar es teh. 


Kami berdua menikmati sajian yang luar biasa lezat itu. Usai makan, Mas Topan menyodorkan rokok kretek filter sebagai pencuci mulut. Saya mengambilnya, menyalakannya, dan menghisapnya dalam-dalam. Subhanallah, nikmat luar biasa. 


Ketika saya sedang asyik menikmati hisap demi hisap nikotin itu, Mas Topan melontarkan pertanyaan bernada datar; “Enak, Mas?” Ya saya jawab apa adanya, “Iya, Mas,” dengan mimik innocent.


 “Ya gitu itu, Mas, orang Islam sekarang,” katanya tiba-tiba. Saya heran, kenapa tiba-tiba dia berkata begitu.


 “Memangnya kenapa, Mas?” saya spontan bertanya saya dengan nada sangat kebingungan.


 “Orang Islam sekarang itu kebanyakan lebih takut pada imam daripada sama Gusti Allah. Lha sampean puasa itu kan untuk Gusti Pengeran, dan yang menganjurkan ibadah ini kan langsung Allah. Sementara sampean makan untuk membatalkan puasa, itu yang nyuruh saya. Mana yang sampean turuti?” Pertanyaan itu jelas menohok saya.  Saya cuma bisa cengar-cengir…


Tak cuma itu Mas Topan “menampar” saya. Ada lagi satu kejadian yang jelas memalukan.


Kebetulan, saya dan Mas Topan punya hobi yang sama; mancing. Pada suatu Ahad, beberapa saat menjelang Asar, Mas Topan mengajak saya mancing. Karena (lagi-lagi) yang dawuh itu imam, saya mengiyakan saja. Dengan alat pancing lengkap, kami berangkat.


Di tengah perjalanan, gema azan Ashar berkumandang. Saatnya umat Islam, seperti saya dan Mas Topan, mendatangi panggilan itu. Tapi Mas Topan, yang waktu itu membonceng saya dengan motor, terus memacu gasnya. Ketika lewat di sebuah masjid, dia cuek saja, melenggang berlalu kendati jelas-jelas suara azan keras berkumandang.


Dalam hati saya bertanya-tanya; “Kok nggak belok ke masjid dulu?” Tapi saya cuma mbatin, mau bertanya sungkan, sembari berusaha berkhusnuzon, mungkin kami akan berhenti di Masjid selanjutnya.


Tapi perediksi saya ternyata meleset. Tiga masjid kami lalui, tak satupun yang kami singgahi. Mas Topan terus memacu motornya, njujug ke tempat pemancingan. 


Sesampainya di lokasi, kami langsung mempersiapkan kail dan pancing. Dalam hati saya tetap bertanya-tanya, kok tidak salat Asar? Tapi rasa sungkan pada sang imam membendung dorongan untuk bertanya dari dalam hati saya.


Kami memancing dengan asyik. Banyak ikan yang kami dapat. Waktu menggelinding. Asar sudah habis. Matahari pelan-pelan mulai menenggelamkan diri di ufuk barat. Azan Masjid berkumandang.


”Eh, sudah Magrib ya,” kata Mas Topan spontan.


”Iya, Mas,” jawabku spontan.


”Lho, kita tadi kan belum Asar kan?” nah, pertanyaan inilah yang aku tunggu, agar aku bisa melontarkan pertanyaan balik yang membuatku sangat penasaran sepanjang aktivitas mancing ini.


”Iya belum, Mas,” jawabku apa adanya lagi. Saat hampir saja aku lontarkan pertanyaan kenapa tadi tidak berhenti dulu di masjid, Mas Topan keburu bertanya dulu; ”Kenapa sampean tadi diam saja kalau tahu kita belum Salat Asar?”


Ya saya jawab dengan jawaban khas seorang makmum, “Lha tadi kita melewati tiga masjid, Mas Topan cuek gitu. Saya ya manut saja.”


Lalu terlontarlah kalimat yang membuat saya kembali merasa bersalah; “Ya itulah, Mas, umat Islam sekarang ini. Tahu imamnya salah, kok diem aja. Padahal kan harusnya diingatkan.”


Benar juga. Karena imam tak selamanya benar. Dia juga manusia. Ada kalanya salah. Rasulullah SAW pun sekali waktu pernah berbuat kekeliruan. Imam salat pun kadang salat melafaskan ayat-ayat Quran, dan ketika itu terjadi, makmum wajib mengingatkan dengan “Subhanallah”.


Yah, memang begitulah pesan dari gaya “ngimami” Mas Topan. Perintah Tuhan seringkali diselewengkan, hanya karena terlalu takut pada imam. Bahkan cenderung menempatkan imam di atas Tuhan. 


Umat sering lupa, bahwa Islam adalah agama orang berakal. Sementara terlalu membabi buta percaya pada imam tanpa pertimbangan rasio, jelas itu telah membunuh Islam dalam pikiran mereka. Lha wong imam juga manusia, tak luput dari keliru. Hanya Tuhan yang Maha Benar, nggak pernah salah sama sekali.


Akibat dari mindset itu pun tak tanggung-tanggung. Terjadilah aksi bom bunuh diri, seperti di Solo maupun Cirebon tahun 2011 lalu. Atau aksi terorisme yang merampas nyawa banyak manusia. Padahal, dalam Alquran, Allah jelas tidak pernah memerintahkan membunuh, kecuali untuk mempertahankan diri dan keyakinan. Islam melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa alasan yang haq. Allah Ta’ala berfirman:





Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS. Al-Mâidah:32)





Kenyataannya? Itu dilakukan karena perintah imam, pimpinan mereka yang salah kaprah dalam memahami Tuhan dan ke-Tuhan-an.


Tapi, memang inilah yang terjadi sekarang. 




 Repost from 26 September 2011



No comments:

Post a Comment