Sunday, February 3, 2013

Romansa dalam Sejumput Malam


“Ketika kau percaya takdirmu, seluruh semesta alam akan mendukungmu.”

-The Alchemist-

Paulo Coelcho


ORANG-orang bilang, kehidupan asmaraku telah menghina hukum objektivitas soal percintaan. Aku tahu mereka iri. Manusiawi sekali, kukira. Tapi, jujur saja, aku sendiri juga tak tahu kenapa aku selalu bisa menarik perempuan-perempuan yang diidamkan banyak pria dalam pelukan dada kurusku.

Semua perempuan yang pernah aku kencani selalu disebut cantik secara objektif. Mereka memiliki semua syarat kecantikan fisik yang disetujui orang banyak. Beberapa di antaranya tak cukup hanya bagus fisik, tapi istimewa secara finansial.

Apa modalku untuk memikat mereka?

 Kalau kau lontarkan pertanyaan itu dengan sambil lalu, aku akan menjawab “entahlah.” Mohon maaf jika jawabanku mengecewakanmu. Tapi, jujur saja aku tak tahu pasti apa yang aku punya sampai aku berkali-kali mendapat kehormatan untuk mendapatkan apa yang diperebutkan banyak orang.

Tapi ketika pertanyaan yang sama dilontarkan dengan nada paksa, menjurus intimidasi yang mengharuskan jawaban, baiklah, aku hanya bisa menjawab: aku cuma punya tubuh yang hidup biasa. Fisikku tersusun dari muka biasa, rambut bergelombang dan berat badan minimum dengan bonus sedikit tinggi badan.

Bersama lahiriahku yang hanya satu ayat di atas bawah rata-rata ini, aku dilengkapi status sebagai seorang anak lelaki dari sebuah keluarga biasa di kampung, yang tak pandai-pandai amat di bangku sekolah pun kuliah.

Tapi, maaf, bukan untuk membuatmu iri, tapi hampir semua keinginanku terwujud. Aku sendiri juga tak tahu, ikhtiar istimewa apa yang sudah aku lakukan sampai aku mendapat keistimewaan itu dari alam semesta.

Atau, mungkin saja karena semua keinginanku itu sederhana. Bisa juga disebut keinginan standar kebanyakan orang. Misalnya bisa menggandeng pasangan yang cantik ketika mendatangi undangan hajatan, atau mendapatkan sumber pendapatan halal yang bisa mencukupi hidupku dan keluargaku di kampung, syukur bisa lebih dikit.

Angan sederhana bukan? Dan sejauh ini, semuanya berhasil aku wujudkan. Jika diruntut sejak dari aku mulai kenal cinta monyet, sampai aku yang berstatus salah satu orang muda yang punya jabatan prestisius di sebuah perusahaan kelas atas milik salah satu kerajaan bisnis di Ibukota, tak ada satu pun perempuanku yang tak cantik secara obyektif.

Aku sempat merenung sendiri dan coba bertanya pada diri sendiri dalam beberapa keheningan malam yang illahiah. Dari komunikasi jiwa yang intrapersonal itu, aku seperti mendapat bisikan bahwa tanpa kusadari, aku punya modal yang sangat penting untuk melakoni hidup ini.

Dan itu adalah yakin pada keyakinanku sendiri.

Keyakinan bisa memberimu semua yang kau ingin, setidaknya itulah motivasi yang disebarluaskan Paulo Coelcho dengan cara persuasif yang cerdas melalui Alchemist-nya.

Dan aku yakin, semua hal indah yang aku dapat sepanjang kuhirup oksigen di Bumi ini adalah imbal balik yang sempurna dari dari keyakinan yang terus aku rawat itu. Keinginan-keinginanku yang sederhana, seingatku, hampir semuanya selalu terwujud. Dan sejauh yang aku ingat, aku hampir tak pernah punya keinginan muluk.

Yah, mungkin saja, aura tekat kuat dari dalam diriku itulah yang membuat aku memiliki daya pikat istimewa yang tak semua perempuan bisa menangkapnya. Perlu kepekaan dan intelejensi tingkat tinggi.

Mungkin.

Itu semua dugaanku saja. Aku tak bisa memastikan, karena aku sama seperti manusia kebanyakan yang memilih untuk memastikan segala hal dengan panca-indera. Yang immaterial, seperti keyakinan, memang kerap menimbulkan ragu selama manusia selalu takluk pada pengalaman inderawi.
    ***

BAIKLAH, cukup perkenalanku yang bertele-tele. Saat ini keyakinanku sedang terasing dari diriku. Bahkan, aku merasa nyaris kehilangannya. Ini soal keinginan yang, menurutku, akan jadi ihwal yang paling sulit kuraih sejauh aku hidup.

Ini soal hubungan asmara pria dan wanita yang kerap aku alami, dan seharusnya aku terbiasa dalam situasi ini. Jika dihitung sejak aku mulai mengenal cinta monyet, di awal umur belasanku, hingga nyaris berkepala tiga sebagai seorang pemegang jabatan prestisius sekarang ini, kalau tak salah ingat, ada sekitar 12 cerita yang melibatkanku dengan cinta pada wanita. Tak satu pun dari selusin cerita itu membuatku merasa kesulitan. Baik itu ketika mengawali atau menutup kisah-kisahnya. Pengalaman membuatku sama sekali tak risau dalam urusan romantika.

Sepertinya kali ini aku kena batunya.

Aku dipertemukan dengan satu wanita yang benar-benar lain. Dia biasa, tapi berhasil memaksaku untuk memahaminya dengan cara yang luar biasa. Dia hidup di luar pemahamanku tentang wanita, yang terbangun bersama deret panjang pengalamanku.

Perempuan itu kurasa cerdas, ketika kulihat caranya membawa alur pembicaraan bertema apapun dengan elegan.  Lebih-lebih ketika menyinggung sepak bola, dia bisa berkhotbah dari A-Z, hingga kembali ke A lagi. Dia cewek bola.

Gaya bicaranya ceplas-ceplos, langsung menyampaikan inti pesan, tanpa majas, dan sama sekali tak malu-malu alih-alih jual mahal. Tawanya lantang dan lepas kendali, tapi tidak ada yang merasa terganggu karena itu. Tanda bahwa dia adalah pribadi yang menguasai ruang-ruang di sekitarnya.

Soal kemasan fisik, jika menggunakan syarat-syarat kecantikan lahiriah objektif yang juga aku ketahui, jujur saja dia tak ada apa-apanya dibanding perempuan-perempuanku yang sudah berlalu. Kulitnya termasuk gelap untuk ukuran perempuan Melayu. Lekukan tubuhnya sama sekali tak istimewa.

Dia bukan keturunan darah tajir. Sudah lama dia bekerja dengan posisi dan penghasilan bagus, bahkan jauh lebih lama dariku, tapi gaya hidupnya wajar-wajar saja, tak heboh layaknya kaum perempuan yang berkarier di kota besar. Dia tinggal di tempat kos, ketika hampir seluruh sejawatnya, bahkan bawahan dia, sudah memiliki rumah pribadi, kendati kredit.

Yang aku dengar, dia hidup bersahaja itu demi keluarganya yang sedang dijahili oleh kondisi ekonomi. Dia menyangga kehidupan orangtua dan tiga adiknya.

Biasa sekali bukan? Perempuan yang bekerja untuk keluarga banyak bersebaran di muka Bumi ini. Dalam upaya “heroik” itu, dia tak istimewa. Sebagai wanita dengan jabatan tinggi, itu juga tidak istimewa. Luar biasa jika itu didapatnya di Jawa, kala Kartini belum mempopulerkan istilah emansipasi. Perempuan cerdas juga ada di mana-mana. Dibanding Sri Mulyani Indrawati, jelas dia tak ada apa-apanya.

Tapi ketika berkomunikasi langsung dengan dia, di mana kesempatan itu jarang kudapatkan dan hanya basa-basi sepenggal yang kudapat jika kesempatan untuk itu datang, kurasakan betul bahwa dia itu “menyentak”. Ada kedalaman yang sempurna, yang mustahil ditangkap pria-pria dangkal pemburu libido.

Bersama ayun langkah sang waktu, perempuan itu tiba-tiba saja mengusik hasratku. Tak hanya menyentuh keinginan, tapi sudah mulai menjamah kebutuhan. Kian lama terasa betul aku seperti dipaksa untuk butuh dia. Itu hati yang membujuk, bukan kuasa logika. Dan hati adalah satu-satunya unsur dalam diri yang tak pernah bohong dan kehendaknya sulit ditepis.

Nah, pada situasi inilah aku merasakan suasana yang benar-benar baru ketika keyakinan yang biasanya setia dan kerasan di dalam jiwaku mendadak kabur tanpa pamit. Kepergian si yakin itu membuatku semakin galau, ketika kebutuhanku terhadap perempuan itu bermetamorfosa menjadi kemelut internalku yang menderaku kuat sekali dan memaksa untuk dilontarkan pada sang subjek.

Dan ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku bukan pria pertama yang “terjebak” dalam kekalutan perihal perempuan itu, mendadak aku merasa asing sekali dengan kata “yakin”. Kabar bertebar di awang-awangku memberitahu pernah ada sekitar sepuluh pria bertipikal “idaman komplit dan plus-plus” yang harus menelan mentah-mentah pahitnya penolakan.

Yah, saat itu juga tiba-tiba aku amnesia; seolah tak pernah mengenal istilah “percaya diri” pun “yakin”. Jika pria istimewa saja kecewa ditampiknya, apalagi aku yang hanya berlabel rata-rata alias biasa?

Beberapa kali aku nyaris memutuskan untuk menyerah saja dalam “upaya pencukupan kebutuhan jiwa” ini. Aku tak melihat sinyal positif, yang biasanya langsung kudapati dari perempuan-perempuanku dulu ketika kami mulai membuka ruang komunikasi. Sinyal positif yang biasanya muncul vulgar dari perempuan-perempuan terdahulu, sama sekali tak kudapati ketika beberapa kali aku mencoba membangun komunikasi yang menurutku selalu ditanggapinya sambil lalu. Sikap yang membuatku berhipotesa bahwa dalam hati perempuan “berpenampilan rata-rata” itu tak terpercik sama sekali ketertarikan terhadap sosokku –yang menurut kebanyakan wanita “sangat istimewa di dalam” ini.

Apa yang harus aku lakukan? Dia tak bisa kuklasifikasikan dalam daftar keinginan yang masih bisa kukesampingkan. Tapi dia ada pada posisi teratas kebutuhanku. Dan situasi hubunganku dengan dia yang tak pernah berkembang itu menjelaskan padaku, bahwa nyaris mustahil untuk mengajaknya dalam romansa.

Kenapa justru “wanita biasa” seperti dia yang membuatku mati kutu?

Aku pernah mencoba menepisnya. Nyaris aku berhasil membuangnya dari kepala dan hatiku. Tapi, aduh, semesta alam selalu punya cara nakalnya sendiri untuk kembali mengingatkan aku pada perempuan elegan itu, ketika tinggal sejurus lagi aku bisa memusnahkannya. Hasrat yang menipis pun dipaksa untuk kembali menjadi-jadi.

Hingga pada suatu titik yang kurasa tak mungkin untuk kuingkari lagi, aku harus mengambil keputusan; memaksa untuk memusnahkannya lagi –dan terbukti usaha itu selalu gagal—atau memberanikan diri untuk menyampaikan pesan sakral dari pusat kedalaman jiwaku, dengan kemungkinan kecewa  99%.

Dalam gulana yang menggila, aku mendapat isyarat tentang adanya harapan ketika perlahan namun pasti mulai tumbuh tunas keyakinan yang sempat musnah itu. Ada seserpih bisikan yang memberiku kepercayaan, bahwa mengingkari akan membuatku mati hati, dan mengungkapkan adalah pilihan yang paling tepat.

Bersama selarik keyakinan, aku ambil pilihan terakhir.
***

SENJA mulai terkulai lemah dihela malam yang mulai mengintip. Peralihan sesi waktu kali ini naga-naganya membawa serta keresahan para lajang yang sukar menemukan cinta, dan menimbunkan seluruh akumulasi kegundahan itu padaku.

Peralihan masa ini ini aku benar-benar dihajar resah. Tak pernah aku rasa setercabik-cabik malam ini. Keyakinan yang sepanjang riwayatku selalu menjadi malaikat penjaga yang selalu bersamaku, di mana atau bagaimana pun aku, malam ini terkesan hanya memenuhi kewajiban untuk “sekadar ada”.

Ah, bagaimana pun juga, kendatipun sekadar, keyakinan itu masih ada. Aku sangat berharap yakin yang begitu tipisnya ini menjadi pertanda baik untuk upayaku dalam memenuhi kebutuhan jiwaku yang tersandera dalam diri perempuan itu.

Mendapatkan informasi di mana perempuan itu hidup di luar lingkungan kerja butuh upaya yang luar biasa. Bicaranya yang blak-blakan itu rupanya adalah tabir yang dia pasang untuk menutup rapat pribadinya.

Pernah aku coba mencari tahu di mana tinggalnya dalam beberapa kali pembicaraan dengannya yang sepenggal-sepenggal. Juga melalui pesan singkat yang tak berimbang; karena respons darinya baru datang setelah 15 kali kulontar pesan dari nomor ponselku.

Kesabaran yang menguat ditopang keyakinan yang tak begitu yakin itu memberiku hasil usaha yang memuaskan. Di antara pesan singkat tak berimbang itu, tanpa kunyana dia menyuguhkan alamat yang kumau dalam salah satu dari beberapa balasannya yang jarang datang.

Entah “pesan istimewa” itu tak dia sengaja, entah karena dia merasa perlu mengusir bosan yang menggumilinya akibat pertanyaanku yang selalu sama dan terlalu sering datang, atau dia memandangku sebagai pria yang perlu rasa iba, aku tak peduli. Yang penting berhasil kuraih setahap lagi kemajuan dalam ikhtiarku memenuhi kebutuhan ini.

Hingga di malam kikuk ini. Pilihan sudah kuambil, tapi ketakutan terhadap kemungkinan sakit dan kecewa tetap menempati porsi paling besar dalam diriku. Seperti mencengkeram bahu dan kakiku agar tetap tinggal di rumah. Bayangan tentang kemungkinan jika aku datang ke rumah itu sama artinya dengan menjemput rasa sakit terus membujuk dan merajuk keyakinanku yang sedang tipis-tipisnya.

Hingga akhirnya daya pikat si perempuan serta kewajiban smaradhana dalam jiwa yang merengek-rengek malam itu mengharuskanku untuk memenangkan keyakinanku yang secarik dan tak acuh pada ketakutan yang merajalela. Sebuah pilihan bijak, kurasa. Karena, sejauh pengalamanku, memilih untuk yakin, setipis apapun itu, selalu menjadi pilihan yang tepat.

Sebelum ketakutan kembali menjadi-jadi, bergegas aku merapikan diri. Kukenakan setelan yang menurutku terbaik. Kusemprotkan Yves St-Laurent seperti aku mengguyurkan air ke tubuh di kamar mandi. Aku harus sempurna dan sesemerbak mungkin di depannya. Dan itu adalah satu-satunya cara untuk memompa keyakinanku yang sedang lunglai.

Angin yang mengikuti langkah kakiku menuju pondokan si perempuan mengembuskan nada simpatik dan sarkastik di saat bersamaan. Sementara mendung pekat musim hujan di langit malam ini seperti gagal menyembunyikan bulan yang menatapku dengan iba. Bintang-bintang sepertinya bermain gembira di balik awan sana, sebagai bentuk rasa syukur karena mereka tak harus melihat langsung ketika salah satu makhluk dari jenis yang paling mulia di muka Bumi ini ditipu oleh keyakinan yang ternyata salah mengambil keputusan.

Dan setiap ayunan langkah seolah membawa keraguan tingkat tinggi. Tapi sisa keyakinan terus menarik tubuhku agar jangan sampai aku mengambil keputusan putar badan di tengah jalan.
***


AKHIRNYA aku sampai di depan pintu pagar itu.

Di baliknya ada sebuah misteri yang telah melumpuhkan laki-lakiku.

Belum sempat kupencet bel, sesosok siluet perempuan lebih dulu muncul dari salah satu kamar. Langkahnya santai sedikit bergegas menuju pagar. Sepertinya dia tahu ada yang datang.

Dada kiriku berdentum. Dalam bentuk siluet pun aku tahu dialah yang kutuju malam ini. Perempuan itu.

Gelap dan air hujan yang sudah mulai berancang-ancang untuk merintik itu mendadak berubah menjadi sore yang begitu lembayung di tepi pantai, ketika yang kudamba memberiku senyuman pribadi ketika pagar terbuka.

“Mudah bukan mencari rumah ini?” pertanyaan yang tak pernah aku duga bakal terlontar dari bibirnya yang tipis dan basah itu. Pertanyaan mirip doa yang berharap kepastian aku tak berjumpa aral di tangah perjalanan menuju rumah itu. Pesan yang kutangkap, dia ingin aku baik-baik saja.

Seperti sedang mengkhawatirkan kekasih.

Kesan subjektifku, memang. Dan itu menyuntik keyakinanku agar semakin tumbuh.

Dengan basa-basi biasa aku dipersilahkan duduk di kursi teras. Sepi. Tak tampak penghuni lainnya.

“Semua pulang. Biasa, akhir pekan. Cuma ada aku dan pemilik kos,” dia menjelaskan situasi itu, seolah-olah bisa membaca pikiranku.

Ah, semakin tumbuh saja keyakinan ini. Naga-naganya ruang dan waktu sengaja memberi kami porsi istimewa.

“Oh. Kau tak pulang?” respons dariku berupa pertanyaan yang sangat biasa.

“Hanya sekali sebulan aku pulang. Lagipula, aku suka sendirian dalam suasana sepi. Obat paling mujarab setelah jenuh seminggu penuh di lingkungan kerja yang berisik.”

Penjelasan yang wajar sebenarnya, tapi pernyataan “aku suka sendirian dalam suasana sepi” itu sedikit mengusikku. Apakah memang suasana kehidupan seperti itu yang dia ingin? Apakah penolakan-penolakannya terhadap beberapa pria itu karena dia tak ingin terseret dalam kehidupan yang ramai?

Syak wasangka dan ketakutan mulai kembali berkolaborasi, memberikan gambaran kekecewaan yang seolah-olah pasti kudapat.

Tapi, sekali lagi, demi kebutuhan jiwa yang perlu diisi, aku memilih berteman pada keyakinan yang sedang kembang kempis.

Basa-basi itu berlanjut dengan beberapa obrolan yang tersusun secara acak. Tentang asal-usul, tentang kesenangan, lelucon-lelucon hambar yang dipaksa lucu demi menariknya untuk mendekat. Interaksi kami kala itu, di mana hanya ada kami, benar-benar membawa suasana lain. Tak seperti suasana yang kutemui setiap aku berinteraksi dengannya di antara banyak orang.

Dalam interaksi interpersonal itu, dia menebar aura yang tak pernah kutangkap selama kami berinteraksi di ruang publik; perhatian penuh pada setiap kata yang aku ucapkan. Biasanya dia acuh. Dan dingin.

Pertanda baik, sebenarnya. Tapi aku masih belum punya nyali untuk berharap lebih. Kenyataan bahwa dia suka sepi dan sendiri itu masih menggangguku.

Yang paling banyak mendapat porsi dalam cakap-cakap kami kala itu adalah sepakbola, terutama aksi tim-tim papan atas dari Benua Biru.

Dan suatu kebetulan yang menguntungkan usahaku, karena kami berdua sama-sama pemerhati Liga Italia Serie-A. Tema yang dipilih memberiku kesempatan untuk tidak kehabisan bahan pembicaraan. Aku menguasai banyak hal tentang sepakbola Italia.

Ternyata dia penyuka Inter Milan. Ada aroma ego dalam alasannya mendukung Nerazzuri. “Awalnya aku suka AC Milan. Tapi lama-lama aku merasa terlalu banyak yang suka klub itu. Hampir semua saudara atau teman kerjaku pendukung AC Milan. Lama-lama aku merasa dukungan untuk AC Milan lebih mirip euforia, sifatnya ikut-ikutan. Aku tidak suka ikut-ikutan. Jadi aku memilih untuk “menyeberang” ke tetangga sebelah. Beda dan sendiri itu mengasyikkan. Kita leluasa menikmati tanpa harus membaginya dengan banyak orang,” paparnya panjang lebar.

Dan aku menangkap kesan ego yang besar dan keinginan untuk memisahkan diri dari keramaian di dalam paparan rasionalisasi dukungannya untuk tim kesayangan.

Tapi, dalam hal menentukan tim kesayangan, sebenarnya ada kesamaan antara dia dan aku. Aku pendukung AS Roma, klub yang prestasinya naik-turun dari musim ke musim. Aku punya alasan mendukung Serigala Ibukota itu; karena aku juga tak suka mendukung sebuah tim yang terlalu banyak pendukungnya.

Satu lagi kesamaan kutemukan.

Detik-detik terus berdetak. Malam semakin jauh. Dan rintik pertama turun, disusul rintik-rintik lain yang membesar menjadi hujan.

Hujan. Sepi. Aku dan dia.

Ah, seharusnya ini suasana yang romantis. Seharusnya ini nuansa paling pas untuk mengakui motivasiku menemuinya malam ini.

Di salah satu sela pembicaraan itu, dia menyuguhkan kopi –yang aku rasa terlalu manis. “Terlalu manis? Maaf, aku terbiasa membuat minuman yang sangat manis,” katanya seolah-olah bisa menebak yang direkam indera pengecapku, dan dia merasa bersalah.

“Hehe, tidak masalah. Tubuhku yang kurus ini perlu banyak asupan gula,” jawabku sedikit berkelakar, sekaligus agar dia tak terlalu merasa bersalah.

Kendati sebenarnya dalam hati aku merasa manis racikannya keterlaluan.

Namun, tak apalah. Ekstra manis ini mungkin bisa jadi penetralisir ketika di akhir pertemuan ini aku harus membawa pulang pahitnya penolakan. Kuhibur diri di tengah situasi yang masih serba sumir ini.

Hujan malam ini membawa irama syahdu yang segar. Tanpa angin, tanpa guntur, dengan volume yang sangat pas untuk sejoli yang sedang jatuh cinta.

Ah, andai saja dia merasakan sama seperti aku. Tentu malam ini akan kukenang sebagai salah satu malam sempurnaku.

Hening beberapa saat. Irama alam di malam yang bergemericik itu seperti sedang mengerjaiku; agar aku langsung ungkapkan saja maksud kedatanganku.

“Lalu, apa hal penting yang kau maksud dalam pesanmu itu, sampai kau harus terjebak hujan di sini hanya dengan aku?”

Terjebak? Ini bukan terjebak, hai perempuan yang aku butuhkan. Ini adalah romantika kudus yang sengaja diatur semesta untuk kita.

Seandainya rayuan itu tak hanya berhenti di dalam hati. Ah, tapi, pertanyaan itulah yang aku tunggu. Jalurku untuk berkata jujur mulai terbuka.

“Kenapa selalu ada nuansa romantis saat hujan turun dalam bentuknya yang tenang?” aku mulai berani memancing agar pembicaraan mengarah pada tema romansa. Tentunya setelah susah payah kukumpulkan nyali demi mengucapkan itu.

Tapi pertanyaanku tak mendapat respons. Hening dari sebelah kiriku. Mulut perempuan itu tertutup, tapi biarkan matanya menatap air-air yang jatuh dari langit. Dan sedikit percik mendarat di wajah dan pakaian kami.

“Entahlah. Aku tak begitu mengerti tentang hal yang kau tanyakan itu.” Respons itu membawa pesan agar tema pembicaraan dialihkan, prasangkaku.

“Pertanyaanku itu memang bukan untuk dijawab nalar. Bukan untuk dimengerti. Tapi dirasakan. Dan itu teritorial hati.” Aku berusaha mempertahankan tema ini. Ingin kulihat reaksinya sejauh mana. Sehingga aku bisa memutuskan teruskan atau hentikan niatanku.

Responnya hanya senyum multiinterpretasi yang gagal kuterjemahkan kepastiannya. Tanpa kata-kata. Sepatah pun.

Dia sedang pasang kuda-kuda pertahanan diri rupanya. Baiklah, perempuan edisi khusus, kali ini aku tertantang. Kita lihat seberapa kuat kau menahan gempuranku. Seberapa jauh kau bisa mempertahankan hatimu dari sentuhanku.

Aku rasa pertarungan malam ini seimbang. Dia dipandang istimewa oleh banyak pria, pun aku juga terbukti dipandang tak biasa oleh banyak perempuan. Bentuk lahiriahku biasa, begitu juga komposisimu. Kau punya kedalaman, dan itu benar-benar aku rasakan, begitu pula aku –seperti yang diakui sederet perempuan yang pernah berbagi kasih denganku.

Dan malam-hujan ini menghadirkan sensasi baru dalam jiwa penaklukku; untuk pertama kalinya aku terlibat dalam pertempuran yang sulit dalam upaya penaklukan hati lawan jenis.

Dan senyum abu-abunya itu sekilas saja. Lalu dia diam.

Aku serang dia dengan jurus selanjutnya; “Konon, air adalah satu-satunya zat di dunia ini yang langsung diturunkan dari surge.” Beberapa kali aku mendengar premis itu, kendati tak pernah kutemui penjelasannya langsung di kitab suci yang aku percayai.

“Ya, aku pernah mendengar itu.” Kali ini dia merespons dengan kata. Sepertinya kailku mulai mengena. Level pengetahuan kami setara rupanya. Tentu ini akan menjadi dialog yang asyik.

“Mungkin karena itulah hujan identik dengan cinta. Romantika. Karena dia membawa zat yang diproduksi langsung oleh surga, dan tentu membawa pesan-pesan surgawi. Cinta salah satunya.” Mendadak aku berkotbah.

“Haha… Mungkin saja.” Untuk pertama kalinya aku mendapat sedikit persetujuan darinya, yang dibumbui nada tawanya yang khas; lepas, tapi pendek. Member irama sendiri pada malam yang kurasa kian memberiku asa itu.

“Seluruh isi jagat raya ini, pada dasarnya, membawa pesan cinta. Melalui hujan, cerah, pergantian waktu terang-petang-gelap, anugerah, musibah, kesenangan, rasa sakit. Semua itu adalah pengejawantahan cinta dalam bentuk yang rupa-rupa.”

“Lalu?”

Aha! Aku berhasil mendapat perhatiannya!

Baru saja hendak kuteruskan presentasiku soal pemahaman terhadap semesta dan cinta, terlontar pernyataan sinis yang nyaris membuatku runtuh; “Tapi aku setuju kalau rasa sakit itu adalah salah satu bentuk cinta. Bentuk yang paling mungkin terjadi, utamanya dalam hubungan lawan jenis. Dan bentuk yang lebih baik tak dipilih.”

Alamak… Definisi seperti itulah yang sebenarnya tak ingin aku dengar dari dia. Itu seperti portal, yang jadi penghalang gerak majuku.

“Kerap, bahkan hampir selalu, menghadirkan rasa sakit. Ketika cinta berangkat dari kebutuhan naluriah manusia untuk berkembang biak. Antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada definisi berbeda dari kedua jenis manusia itu untuk mempertahankan eksistensi ke-aku-an.”

Sepertinya aku bisa menebak arah paparannya…..

Tapi kubiarkan saja dia melanjutkan.

“Aku percaya cinta itu ada pada setiap hal di alam semesta. Tapi manusia punya kuasa untuk memilih, karena itu spesies ini disebut paling istimewa oleh agama Ibrahim. Manusia leluasa untuk memilih cinta dalam bentuk apa untuk mengisi kekosongan hidupnya.”

“Dan…” aku berusaha mengambil tempat di sela-sela penjelasannya –yang tampaknya akan panjang dan menjadi tema penutup perjumpaan kami malam itu.

“Justru hak untuk menentukan pilihan itu membuat manusia memilih untuk membela ego. Pilihan yang manusiawi dan logis. Karena secara naluriah manusia selalu berorientasi untuk memanjakan diri sendiri dengan cara yang bisa membuat dirinya bahagia. Dan hampir selalu cara yang ditempuh individu satu dan lainnya menggunakan parameter yang beda sama sekali, cenderung bertentangan. Kontradiktif.”

Ah, dia sedang berbicara tentang Sigmund Freud dan psikoanalisisnya. Dia benar-benar sedang memparadekan pertahanan dirinya yang kokoh itu.

“Tapi,” aku berusaha menyela agar jurus-jurus ofensifku tak sampai patah. “Bukankah ada kuasa semesta, yang tak dimiliki individu dan hadir dari luar kesadaran, tapi itu cukup ampuh untuk mengatur individu-induvidu agar tak sampai berbenturan? Karena bersama dengan keinginan-keinginan individual itu, dalam diri setiap orang hidup naluri untuk hidup bersama orang lain. Ada kebutuhan untuk menjadi makhluk sosial, tapi kebutuhan itu tak akan terpenuhi selama “kuasa yang tak dimiliki” itu tidak turun tangan.” Aku coba membobol pertahanannya dengan jurus-jurus Foucault.

“Ya, aku setuju itu,” reaksinya spontan, seperti tak rela pendapatnya terpotong oleh pendapat lain yang pada dasarnya bisa dia terima.

“Tapi pada kenyataannya, relasi interpersonal maupun sosial yang “diidamkan” semua manusia itu selalu tumbuh dalam kepalsuan. Dalam kemunafikan. Pemahaman yang dibangun demi kebersamaan itu hanyalah pura-pura untuk memenuhi kebutuhan interaksi yang hanya perlu dicukupi untuk sedikit waktu.

“Interaksi individu-individu yang semestinya indah atas nama “kebersamaan” itu sebetulnya hanyalah bulu domba yang dikenakan musang, hanya kedok seorang individu untuk mencar kelemahan individu lain, yang dikenakan untuk beberapa saat. Agar bisa dijinakkan di saat yang dirasa tepat. Ujung-ujungnya agar dia bisa menguasai individu lain. Demi kehendak naluriahnya untuk berkuasa.”

Aduh, dalam kata-katanya itu, kentara jelas eksistensialis individualnya. Sartre, kenapa kau dilahirkan membawa konsep ide yang sempurna untuk pijakan pribadi-pribadi individualistis….

“Pun dengan hubungan interpersonal bernama cinta terhadap lawan jenis. Itu adalah sebuah pola hubungan yang sebetulnya paling mengerikan, berangkat dari tuntutan naluri dasar untuk berkembangbiak. Untuk mencukupi hasrat seksual saja. Segala angan-angan indah dalam asmara itu hanya rekayasa imajiner demi politik persuasif individu saja, yang tujuan pokoknya adalah pencukupan libido.

“Setelah kebutuhan seks terpenuhi, apalagi yang dicari? Tidak ada. Karena itu, banyak relasi yang awalnya dibangun atas nama “cinta” dan “kebersamaan” berujung pada kebencian dan perselisihan. Karena, ketika seks telah tercukupi, sudah tak ada lagi yang dicari dalam hubungan lawan jenis. Ketika intisari hubungan itu telah didapat, pasangan yang terlibat akan bertemu dengan kejenuhan. Rasa bosan yang kemudian diungkapkan dalam selisih paham juga pertengkaran berkepanjangan, dan berujung pada perpisahan yang selalu menyakitkan.

“Sebagian besar pasangan memilih untuk menutup kisah cinta dengan berbagai macam dalih, ketika intisari kebutuhan dalam hubungan itu telah terpenuhi. Dan aku rasa itu adalah pilihan manusia-manusia modern rasional. Yang awet bertahan hingga renta atau tutup usia itu hanya hubungan yang melibatkan individu-individu yang memutuskan untuk tidak individualis. Dan sepertinya, pada masa ini tak banyak yang mengambil keputusan yang itu.

“Karena itulah aku setuju ketika kau menyebut rasa sakit itu adalah salah satu bentuk cinta. Bentuk yang bisa dipilih atau dihindari. Dan sejauh ini, jujur saja secara pribadi, aku belum berani mengambil pilihan itu.”

Pesan yang disampaikannya dalam kalimat terakhir itu jelas sudah. Dan sepertinya prediksi dari sedikit keyakinan --yang aku pilih ketika mengambil keputusan menemuinya di malam yang kebetulan hujan ini—meleset kali ini.

Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasa ditipu oleh keyakini yang selama ini selalu aku yakini.

“Haha. Sejak kapan kau lahap bujukan-bujukan Jean Paul-Sartre itu?” tanyaku datar, untuk menjaga keberlanjutan perbincangan kami, sekaligus mencari jalan untuk sampai pada penutup yang wajar; yang tak mengambang.

Lagi-lagi dia jawab dengan senyum. Dan tiap kali kudapati ekspresi itu di wajahnya, aku semakin yakin kalau Tuhan menjadikan ekspresi itu sebagai bentuk terindahnya secara lahiriah.

“Yah, begitulah.” Ternyata singkat saja kalimat yang dia pilih untuk menutup kebersamaan kami malam ini. Singkat, tapi memaksa lawan bicara untuk menyerahkan kesepahamannya.

Ya, sudahlah. Kali ini keyakinan sedang tidak berada di pihakku.

Untuk mengisi kekosongan ruang kata-kata di antara kami, kucomot keretek filter dari saku kanan celana jinsku. Kunyalakan sebatang, dan kunikmati pelan-pelan sembari kupandangi hujan yang kurasakan sedang salah memilih tempat untuk mengucur di depan kami.

Nikmat betul nikotin ini. Kenikmatan yang sempat aku lupakan sama sekali ketika aku bertukar cakap dengan perempuan istimewa ini. Karena kenikmatan yang kudapat melalui pertemuan kata-kata sebagai jembatan psikologis kami aku rasakan sebagai nikmat di atas segala kenikmatan yang pernah aku nikmati.

Sayangnya, kenikmatan sakral ini harus urung sampai ke klimaks.

Kali ini aku kalah. Sepertinya.

Pukul 11 malam. Hujan sepertinya enggan untuk menyudahi guyurannya. Tapi aku harus pulang, atas norma kepantasan hubungan laki-laki dan perempuan yang hidup lestari di tengah masyarakat Timur –kelompok masyarakat di mana kami menjadi bagiannya.

Norma yang entah disetujui atau tidak oleh perempuan individual yang selalu menomorsatukan eksistensi pribadinya itu. Yang jelas, dia sama sekali tak merasa terganggu oleh waktu yang menyeret malam itu menuju larut.

Dalam diam kami, aku coba kulirik dia. Aku mendapati sebuah paradok. Aku merasa gesturnya mengisyaratkan agar durasi kebersamaan kami malam ini bisa diperpanjang. Bahasa nonverbal yang jelas bertolak belakang dengan penolakan melalui dalil-dalil verbalnya yang sangat masuk akal itu. Tapi menyakitkan hati.

Pesan mana yang harus kuikuti? Aku berusaha mencari penutup perjumpaan itu dengan gamang.

Ah, aku harus bergegas menutup kebersamaan ini. Atau aku harus mengamini bahwa “rasa sakit itu adalah salah satu bentuk cinta” seperti yang didefinisikannya.

Aku mau cinta. Dan memang itulah yang aku cari dalam kunjunganku kali ini. Tapi aku tak mau sakit.

Dan malam ini harus segera kuakhiri. Untuk kemudian kunikmati hujan dan gelap Ibukota, yang kuharap bisa melunturkan kekecewaan amat sangat yang kutuai malam ini.

“Baiklah. Terimakasih untuk luangmu malam ini. Sepertinya sudah waktunya aku pulang. Tak enak dengan Ibu kosmu,” dan aku memilih gaya berpamit penuh basa-basi dan sok sungkan, yang jamak dipilih banyak orang.

“Sebenarnya tidak masalah, meski kau di sini hingga pagi sekalipun. Apalagi tampaknya hujan akan lama membasahi malam ini, ” Jawabannya seperti itu tak pernah aku duga. Membuatku kian ambigu.

“Tapi, jika malam yang terlalu larut di kediaman lawan jenis yang baru kau kenal membuatmu merasa rikuh, silahkan,” caranya melepasku itu, yang menyelipkan kata “jika” di antaranya –yang berarti aku diberi peluang seluas-luasnya untuk memilih—membuatku makin bingung menebak-nebak.

Menebak-nebak yang ujungnya membuat gundahku semakin resah. Memang sebaiknya aku pulang saja.

Untuk gestur penutup, aku memilih mengangkat cangkir kopi yang tinggal seperseruputan itu. Aduh, kenapa kopi yang terlalu manis ketika awal disuguhkan itu menjadi telampau pahit di saat penghabisan?

Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, aneh. Di tengah kecewa dan pahit itu, aku masih bisa merasakan bahwa keyakinan yang kurasa telah membohongiku itu masih belum pergi. Cenderung menguat. Tapi aku tak dapat menangkap isyarat apa yang ingin disampaikan oleh naluriku sendiri.

“Kapan-kapan datanglah kembali ke sini. Aku menyukai perbincangan kita.”

Apalagi maksudnya ini? Ah, sudahlah. Tak perlu kutebak-tebak lagi. Lebih baik aku segera beranjak sebelum terlalu hanyut dalam kebingungan-kebingungan yang datang bertubi.

Setelah kulempar senyum dan salam sepantasnya, kuterabas hujan yang menjinak jadi rintik itu. Seperti hendak memberiku sentuhan yang lebih lembut untuk meredam kecewa yang –anehnya—masih menyisakan yakin bahwa yang aku yakini itu tidak berdusta.

***

SEJUJURNYA pamitmu malam ini itu tak sepenuhnya kurelakan. Karena aku sedang menikmati hujan yang kurasa sangat lengkap dengan keberadaanmu. Aku telah berupaya menahanmu untuk lebih lama duduk di sebelahku dengan bahasa tubuhku. Tapi, mungkin aku tak pintar dalam berbahasa non-verbal.

Pertemuan dalam tiga jam bagian malam itu aku membuktikan bahwa keyakinanku tidak meleset. Dari sekian banyak yang datang padaku, aku baru mendapati sesosok lelaki yang menghormati eksistensi perempuan yang punya pendapat pada dirimu.
Aku sebenarnya telah melihat isyarat keistimewaanmu itu dalam perbincangan-perbincangan singkat kita di ruang publik yang kita lakukan sambil lalu itu. Kau, yang asing dan mendadak masuk di dalam ruang sosialku, berhasil membuat keyakinanku yang lama mati ini muncul kembali. 

Pelan-pelan memang, namun pasti tumbuh.
Maaf, aku sengaja tak membalas seluruh pesan singkatmu yang tiba bertubi itu. Aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa yang aku rasa ini benar-benar tepat. 

Dan melihat upaya yang kau kemas dalam susunan bahasa elegan dalam pesan singkatmu itu, aku kian yakin dengan keyakinanku. Hanya saja baru separuh, belum bulat betul.

Karena itulah aku membagi alamatku untuk kamu. Aku ingin melihat kesungguhanmu. Aku ingin bukti langsung, dalam pertemuan fisik, untuk melengkapi jiwa kita yang sebenarnya telah bertemu.

Definisi cinta dan sakit yang kupaparkan padamu tadi sebenarnya telah menjadi masa lalu setelah perbincangan kita itu. Tapi aku malu mengakuinya di depanmu. Pun aku hanya ingin tahu, seberapa keras kesungguhanmu. Kau perlu meyakinkan aku tentang itu dengan ikhtiarmu.

Dan aku yakin, kau akan melakukannya.

Kutatap kepergianmu membelah hujan yang telah menjinak sebagai rintik itu dengan berat, sebenarnya. Tapi aku tak punya alasan untuk menahanmu. Keyakinanku masih butuh waktu untuk bisa menjadi utuh.

Aku yakin kau bisa membimbingku mengubah definisiku tentang cinta.

Cinta: manifestasi paling sempurna yang Tuhan anugerahkan pada manusia.

Aku harap kamu dan aku bisa memanifestasikannya dalam bentuk dan definisi yang saling menghargai. Aku yakin kamu bisa memberiku itu. Dan aku lebih yakin lagi, aku sanggup memberikanmu itu.

Ya, kadang cinta memang datang dalam bentuk yang sangat sarkastik. Tapi, ah, biar bagaimana pun, cinta tetaplah cinta; bentuk paling kudus dan sempurna dari segala keindahan di semesta raya ini.








Sidoarjo, 3 Februari 2013

Untuk kekosongan yang menanti sang yakin.

No comments:

Post a Comment