Saturday, January 19, 2013

Romantika Lawu: Kali Ini


AH, betapa aku semakin mahfum kenapa gunung, yang dipercayai sebagian besar masyarakat tradisional sebagai pusarnya Pulau Jawa ini, selalu menarik dicumbui. Stok kedamaiannya tak habis-habis, kendati suasana perkotaan peralahan-lahan mulai menggerus kebersahajaan tradisionalnya.



image




DALAM perjalanan mendadak kali ini, aku tak bisa mencapai puncaknya, seperti biasa. Licinnya alur pendakian lantaran hujan yang sedang gemar turun, adalah alasan kenapa menuju pucuk bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Tentunya selain minimnya peranti pendakian yang aku bawa, karena menuju sini tak termaktub dalam jadwalku sebelumnya.


Hanya menikmati kopi mengepul, yang selalu mendadak dingin beberapa detik setelah disuguhkan, racikan Mbah Di (yang sampai sekarang nama kumplitnya tak pernah aku tahu) di sekitaran Cemoro Kandang —gerbang jalur pendakian menuju puncak Lawu. Kopi, yang disuguhkan bersama pertanyaan rutin tiapkali aku nyangkruk di sini; “Sekarang kok mesti sendirian to, Mas? Teman satunya mana?”


Yang dia maksud adalah Saiful, sohib sejak remaja yang punya hobi sama dan nyaris selalu memanjat Lawu bareng-bareng. Tak cuma sekali dua Mbah Di bertanya tentang Saiful, tapi selalu dia tanyakan itu setiap kali mendapati mukaku yang datang sendirian. Dan jawaban yang aku lontarkan juga selalu sama: “Saya lama tak bertemu dia, Mbah.” Jawaban yang selalu membuatnya memilih untuk mencukupkan pertanyaannya sampai di situ.


Pertanyaan basa-basi khas orang pedalaman, kurasa. Tapi, aku juga merasa, pertanyaan itu adalah sebuah penghargaan terhadap eksistensi manusia; bahwa kita selalu diingat di situ. Sekadar menanyakan keberadaan seseorang yang lama tak tampak secara lahiriah, atau pertanyaan ala kadarnya tentang kabar “si tak tampak” itu, cukup menggambarkan bahwa kita selalu hidup dalam ingatan gunung ini. Kelebat waktu tak pernah menghapus memori tentang keberadaan manusia-manusia yang pernah singgah secara “diri”. Seperti Saiful, yang selalu ditanyakan Mbah Di, kendati 12 tahun lamanya mereka tak pernah jumpa. Dan yang paling diingat oleh Mbah Di adalah; Saiful yang rajin tersenyum memamerkan gigi ginsulnya yang unik.


Kita bisa merasakan penghargaan yang begitu tulus, dan tak jarang itu membuat kita merasakan bahwa kemanusiaan selalu hidup di gunung. Bahwa ingatan itu tak membawa misi apa-apa, hanya sebuah penghargaan terhadap “kehadiran diri”, jika meminjam istilah Jean-Paul Sartre. Seseorang diingat tanpa atribut, tanpa harus dilengkapi jasa atau prestasi —atau bahkan kejahatan— yang harus mereka ukir, untuk memenuhi syarat-syarat menjadi manusia yang diingat. Tak seperti perkotaan yang membutuhkan syarat-syarat itu agar seseorang bisa diingat. Bukan si A yang pernah punya prestasi ini, jasa itu, atau kejahatan ini-itu. Bukan, bukan hal-hal demikian yang bisa membuat kita diingat di gunung. Tapi gunung mengingat kita sebagai manusia utuh, tanpa label. Sosok yang pernah ada di Bumi, sudah itu saja.


Udara gunung yang begitu genit ditambah dengan ingatan-ingatan tanpa pamrih, inilah yang membuat gunung selalu menjadi tempat yang berdaulat untuk dikunjungi setiap sesak mulai memenuhi kepala dan dada. Suasana interaksi dan iklim selalu mampu untuk mencongkel kesesakan-kesesakan yang dituai dari kehidupan kota —yang semakin lama kian bising juga bikin pening.


Sesak, yang menggerombol karena angan yang urung tercapai, karena perkawanan yang terhenti oleh kepentingan, karena akrobat badut-badut politik dengan parodi mereka yang tak lucu.


Juga karena cinta yang tersumbat oleh kepala-kepala yang —entah kenapa— hanya mengizinkan ingatan buruk yang berhak diam dan bersemayam di dalam memori mereka.


Mungkin juga karena situasi interaksi dan prasangka baik gunung inilah, Lawu membuka diri untuk pelarian sejenak. Seperti yang dilakukan Soe Hok Gie ketika dia mulai jengah dengan tingkah polah kawan-kawan seperjuangannya di masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, hampir setengah abad lalu. Kawan-kawan yang dipercaya mengusung misi kemanusiaan yang sama, lalu memilih khianat dan bersimpang arah karena tergiur sodoran “kue-kue politik” dari paham yang awalnya hendak mereka robohkan. “Kue” yang dirasa sebagian besar manusia lebih lezat daripada kemanusiaan itu sendiri.


Beruntunglah kau, Gie. Sang Khalik menjemputmu ketika kau sedang menikmati kemerdekaanmu di puncak Lawu. Di tengah sepi, yang membawamu pada pemahaman bahwa kedamaian selalu hidup ketika kemanusiaan sangat dihargai tanpa harus mengumbar kata-kata; seperti di Lawu ini.


Mungkin pemahamanku tentang kemanusiaan cuma seujung kuku Gie. Tapi, aku berharap, semoga saja Raja Alam Semesta kelak sudi mengulang kebaikan yang dilimpahkan-Nya pada dia; menjemputku di tengah damai-sepi, bersama dengan kemanusiaan yang senantiasa dijunjung tinggi, tanpa embel-embel kalkulasi untung-rugi. 



LAWU; 19 Januari 2013


No comments:

Post a Comment