Sunday, September 13, 2009

Tuhan Tidak Bodoh

Ini cerita lucu yang satir. Di Wincosin, Amerika, ada sepasang orangtua dinyatakan bersalah oleh pengadilan setempat karena membiarkan anaknya mati. Ketika anak mereka sekarat, sama sekali tak ada upaya mengantarkan buah hati mereka itu ke dokter agar mendapat penanganan medis.

Tapi bukan berarti mereka ”tidak berbuat apa-apa” untuk menyembuhkan anaknya. Mereka juga sudah “berusaha”. Tapi usaha itu malah bikin si anak sekarat; mereka hanya berdoa sepanjang hari agar anak mereka sembuh.

Mereka berharap kebaikan Tuhan turun saat itu juga. Tapi, ya itu. Restu Tuhan bukan SMS yang bisa sampai saat itu juga. Sementara mukjizat tak turun juga, si anak semakin parah. Tak ada penanganan medis, akhirnya lewat.
Akhirnya pasangan Dale dan Leila Neumann ini harus duduk jadi pesakitan di pengadilan setempat. Mereka terancam pembunuhan tingkat dua diancam 25 tahun penjara karena membiarkan anaknya mati begitu saja.

Dalam sidang, Neumann mengaku sangat yakin Tuhan akan menyembuhkan penyakit putrinya. Anak perempuannya tewas karena diabetes yang tak terdeteksi, Maret tahun lalu.

Masih dalam persidangan itu, ahli kesehatan menyatakan putri Neumann dapat diselamatkan jika mendapatkan pengobatan yang layak, termasuk pemberian insulin sebelum meninggal. Namun Neumann meyakini Tuhan akan menyembuhkan penyakit anaknya itu dan dia mengabaikan medis. ”Kalau saya pergi ke dokter, saya lebih mendahulukan dokter dibandingkan Tuhan,” kata Neumann, seperti dikutip BBC, Minggu (2/8/2009).

Neumann juga mengaku, dia menduga anaknya hanya menderita flu atau demam. Ia tidak menyadari kalau anaknya kena penyakit parah. Yang jelas, dia sangat percaya Tuhan yang Mahabaik menyembuhkan anaknya tanpa dia perlu keluar ongkos ke dokter.

Jadi religius memang baik, disarankan malah. Tapi terlalu religius jadinya malah salah kaprah. Tuhan tidak bodoh. Dia tentu tak ingin merasa sia-sia telah mengisi kepala manusia dengan otak. Kalau mukjizat selalu turun begitu saja, tanpa ada ikhtiar, bukankah itu sama artinya menyia-nyiakan penciptaan otak?

Mungkin saja, pada orang-orang yang tak mau berusaha dan hanya mengharapkan kebaikan dari langit ini, kalau Tuhan membangun sistem jawab langsung terhadap doa mereka, Dia tentu menjawab; ”Memang kamu sekalian nggak punya otak? Aku sudah ngisi kepala kalian dengan itu. Jangan mau seenaknya sendiri dong.” Dan ketika orang-orang hanya berdoa tanpa berusaha, mengesampingkan fungsi otak, mungkin juga Tuhan dongkol dan menghukum mereka. Seperti yang terjadi pada pasangan Neuman itu.

Makanya, aku pribadi terus terang jijik ketika ada seorang sarjana yang sedang terhimpit situasi, tapi tak pernah memikirkan bagaimana caranya keluar dari situasi pelik itu. Terus-terusan mengajak berdoa, tanpa ikhtiar sepenggeliatan pun.

Mereka memilih “membodohkan” Tuhan dengan menafikkan otak ciptaan-Nya, daripada berusaha keras sebagai wujud terimakasih kepada Tuhan yang telah memasukkan otak di dalam paket kepala mereka. Doa memang bagian pelengkap hidup, tapi bukan itu intinya.

Maafkan Pertanyaanku, Tuhan

Malam sepanjang Ramadan ini pemandangan yang kentara di mana-mana, di Jakarta, itu nyaris serupa. Tiap jelang makan sahur segerombolan orang, entah dari ormas atau kelompok pengajian mana, berbondong-bondong sembari menggotong nasi bungkus dan dibagikan ke siapa saja orang yang mereka temui di sepanjang jalan, yang mereka definisikan sebagai duafa.

Indah memang. Kelihatannya semangat berbagi itu tulus. Meringankan beban sesama berembuskan semangat kemanusiaan.

Tapi, ketika aku sempat menyapa beberapa pembagi rezeki itu, aku jadi punya sedikit pandangan yang membingungkanku sendiri.

Karena, mungkin saja, menurut perhitungan mereka yang bagi-bagi nasi itu begini: nasi diberikan begitu saja pada orang-orang yang kelihatannya sulit mencukupi kebutuhan makan sahur. Itu agar mereka bisa sahur, dan akhirnya kuat puasa dalam konteks tak makan maupun tak minum sejak matahari terbit sampai terbenam. Lalu, mungkin, ada kesimpulan, dengan memberikan makan sahur, mereka itu jadi punya andil terhadap ibadah para duafa, karena telah membantu mereka kuat puasa dengan mengganjalkan makan sahur ke perut mereka. Karena men-support ibadah orang, mereka pun kecipratan pahala.

Mungkin Anda menilai aku terlalu serampangan menyimpulkan. Tapi, setidaknya, itu aku simpulkan setelah mendengar jawaban atau respon beberapa peserta pembagi rezeki, ketika aku lontarkan celetukan, "Wah, bagi-bagi rezeki nih."

Dan jawaban perempuan muda yang dibonceng sepeda motor Yamaha Mio itu adalah; "Iya, Mas. Mumpung Ramadan. Waktunya cari pahala." Sedang seorang pria anggota rombongan yang lain menjawab:"Dengan bagi nasi seperti ini kan itung-itung juga membantu mereka biar bisa puasa. Kan lumayan, dapat pahala lagi, hehehe..."

"Mumpung Ramadan"? "Lumayan, dapat pahala lagi"? Hm, frasa yang menarik. Mumpung ada bulan baik, jadi berlomba-lomba menjala pahala. Karena ada janji dilipatgandakan? Kalau tak Ramadan, ah, mungkin mereka-mereka yang rajin bagi-bagi sahur itu ogah kenal sama orang-orang yang malam itu mereka beri nasi.

Lalu pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah; apakah mereka lakukan itu karena berharap pamrih berbentuk pahala? Bukan benar-benar tulus ingin membantu mereka-mereka yang kesusahan, dengan semangat berbagi yang benar-benar tulus tanpa pamrih. Atau semata-mata lillahita'ala? Mereka lakukan itu karena tergiur pahala berlipat dan janji kemudahan masuk surga --yang dalam Alquran digambarkan akan menggerojok mereka yang rajin ibadah dengan kenikmatan itu.

Lalu, maafkan aku Tuhan, bukannya aku selalu berburuk sangka dengan apa yang sedang berlangsung di sekitarku. Bukannya aku menggugat makhluk ciptaan-Mu. Tapi, maaf sekali lagi kalau aku lontarkan pertanyaan usil ini: "apakah ibadah yang tulus, yang tanpa pamrih itu, yang hanya demi Engkau, benar-benar ada?" Kalau Engkau tak pernah janjikan surga, Tuhan, apakah mereka-mereka itu tetap mau berbuat untuk sesama, seperti yang mereka lakukan hampir di setiap malam Ramadan itu?

Pemahamanku mendefinisikan kalau ibadah itu terkesan transaksional. Dan setiap Ramadan pergi, tak ada lagi pemandangan indah itu. Karena tak ada untungnya. Karena harus mengeluarkan ongkos "hanya" untuk pahala yang biasa saja, bukan yang berlipatganda seperti di bulan Ramadan. Dan di luar Ramadan, mereka-mereka yang kebagian makan sahur gratis itu tetap saja kelaparan.

Manusia memang makhluk ekonomi. Homo economicus. Harus selalu ada keuntungan dalam setiap tindakan. Tapi, haruskah status dan pola pikir itu dibawa juga sampai tataran makrokosmos, wilayah-Mu itu, Tuhan?

Tuhan, hanya Engkau yang Maha Mengetahui. Wallahualam.