Friday, February 1, 2013

Jurnalisme Carik dan Stabilitas

image

INI cerita tentang suatu hari di tahun 1992. Kisah yang saya dengar dari seorang senior bernama Mas Sis yang telah malang melintang lama di dunia jurnalistik sejak akhir 1980-an. Semacam memoar tentang penguasaan mutlak terhadap kanal informasi publik. Sebuah upaya pembohongan yang terstruktur dan massif demi sebuah premis sakral bernama stabilitas nasional.

Ketika para jurnalis dipaksa menjadi carik, sekretaris desa, yang diharamkan beropini. Hanya diperbolehkan mencatat oleh sistem

Alkisah, pertengahan tahun 1992 lalu Presiden Soeharto hendak berkunjung ke Kabupaten Pacitan, Jawa Timur; daerah kecil di pesisir selatan Jawa Timur tanah kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang Mulia Bapak Presiden mempunyai agenda untuk bertemu langsung dengan kelompok petani dan nelayan lokal dan melibatkan diri dalam dialog.
Yang Mulia Bapak Presiden Soeharto hendak bertemu langsung dengan para petani dan nelayan, mendengarkan keluhan mereka dan menjawab semua pertanyaan. Ini adalah wujud perhatian Beliau pada rakyat kecil,” bunyi siaran pers khas Menteri Penerangan Harmoko yang ditayangkan di beberapa media cetak dan TVRI.

Menurut rencana, Bapak Presiden akan didampingi Ibu Negara Tien Soeharto, Menteri Penerangan Harmoko, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Menteri Pertanian Wardojo.

Segala persiapan diolah secermat dan sesempurna mungkin.

Dalam masa persiapan inilah Mas Sis mendapat tugas dari kantornya untuk meliput segala persiapan jelang kunjungan Bapak Presiden ke Pacitan, yang harus dia ceritakan dalam bentuk features. Tugas itu sudah harus mulai dilakukannya sejak dua minggu sebelum hari H.

Ketika baru datang di Pacitan, Mas Sis yang mengaku paling bergairah ketika mendapat job untuk menulis features itu, menjalankan apa yang ditugaskan padanya. Dia menjalankan tugas peliputan ala observasi dan wawancara, khas cara penggalian data untuk tulisan ringan. Rencananya artikel itu ditulis bersambung sampai hari H kunjungan.

Mas Sis harus Menuliskan laporan pandangan mata tentang segala persiapan datangnya orang nomor satu di negeri itu. Dalam proses observasinya, Mas Sis mendapati sebuah helipad yang baru dibangun di sebuah tanah lapang tak di sekitaran Pantai Teleng. Ternyata helipad itu memang sengaja dibangun khusus untuk menyambut kedatangan Bapak Presiden dan rombongan.

Mas Sis memotret helipad itu. Menurut kacamatanya sebagai seorang jurnalis, pembangunan helipad itu menarik, menggambarkan betapa mulianya tamu yang akan datang. Ketika Mas Sis sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba ada seorang berseragam ABRI Angkatan Darat mendekatinya.

Si anggota ABRI berpangkat sersan satu itu menghardiknya; “Hei, kenapa motret-motret? Buat apa?”

Mas Sis pun dengan pede memperkenalkan diri sebagai wartawan yang mendapat tugas meliput persiapan kedatangan Presiden Soeharto.

Bukannya memahami, alih-alih respek, si tentara malah menghardik, lalu merampas kamera manual Yasicha Mas Sis, membukanya, menarik filmnya lalu mencampakkannya.

“Tidak boleh motret-motret di sini,” hardik si sersan, lalu menyerahkan lagi kamera Mas Sis itu. Setelah itu si tentara meminta identitas pengenal Mas Sis. Katanya untuk dilaporkan ke komandan.

Lalu Mas Sis dibawa menghadap komandan dan diinterogasi. Dia dituding punya niat jahat. Untuk memperkuat dalilnya, si komandan berpangkat mayor itu menelpon kantor Mas Sis -–sebuah surat kabar sore terbitan Surabaya yang paling prestise di masa itu. Kantor redaksi membenarkan kalau Mas Sis adalah wartawan mereka.

Tapi masalah belum selesai. Terjadi debat antara si komandan dan redaktur Mas Sis via sambungan telepon.

Komandan menuding koran tempat Mas Sis tak tahu aturan, dengan menugaskan anak buahnya melakukan aktivitas liputan tanpa izin Kodam V/Brawijaya dan Kodim Pacitan. Karena siapapun yang meliput segala hal terkait kunjungan Bapak Presiden Soeharto harus mengantongi undangan resmi dari Sekretariat Negara. Undangan itu pun baru berlaku saat kunjungan, bukan di saat persiapan.

Koran tempat Mas Sis bekerja belum memenuhi syarat wajib itu. Tidak ada izin dan tidak ada undangan. Setelah debat panjang, akhirnya redaktur Mas Sis mengalah, dan Mas Sis ditarik pulang.

***

SEHARI setelah Mas Sis pulang, dia mendapat kabar jika ternyata koran tempatnya bekerja termasuk salah satu media yang mendapat undangan liputan. Dan semua wartawan yang hendak meliput harus hadir dua hari sebelum hari H untuk di-briefing sekaligus registrasi ulang.

Dan dua hari jelang kedatangan Bapak Presiden dan rombongan, Mas Sis kembali lagi ke Pacitan. Dia dan beberapa wartawan lain yang juga diundang melakukan registrasi ulang.

Ketika itu dia bertemu lagi dengan sersan yang merusak filmnya dan si mayor yang menginterogasinya. Mereka memang ditugaskan khusus mengamankan situasi jelang kedatangan Bapak Presiden. Dalam perjumpaan kembali itu, pandangan mereka pada Mas Sis sangat sinis.

Lalu dilakukanlah registrasi. Para wartawan disuruh menyerahkan tanda pengenal. ID card itu baru dikembalikan setelah liputan selesai dan berita dipublikasikan. Dikembalikan langsung ke media tempat wartawan itu bekerja, bukan pada si pemiliknya. Menurut kebijakan protokoler, itu jadi jaminan agar tidak terjadi “hal-hal yang tidak diinginkan”. Para jurnalis itu menurut.

Setelah menyerahkan tanda pengenal, mereka juga harus menyerahkan kamera dan alat tulis yang akan digunakan untuk meliput. Semua alat peliputan harus dari panitia. “Katanya ketika itu untuk mengantisipasi, jangan-jangan ada yang menyamar jadi wartawan dan menyelipkan senjata ke dalam kamera atau pulpen yang bisa membahayakan Bapak Presiden. Karena itulah harus dikumpulkan semua dan menggunakan alat dari panitia,” Mas Sis mengisahkan.

Lalu dimulailah pengarahan ala protokoler. Panitia mengatur semua yang harus dilakukan peliput. Mulai ketika Presiden dan rombongan tiba para wartawan harus ada di mana, ketika Presiden disambut harus ada di mana, dan ketika terjadi dialog mereka harus bagaimana. Pokoknya, semua harus sesuai petunjuk protokoler. Wartawan tidak bisa bergerak bebas memilih angle yang diingini.

Seusai pengarahan, tanpa sengaja Mas Sis mendengar ada pengarahan lain di ruang sebelah. Ternyata staf Mensesneg dan Menteri Penerangan sedang mengumpulkan para ketua kelompok tani yang akan terlibat dialog dengan Presiden.

Para ketua sedang mendapat kursus kilat. Mereka diberi petunjuk, kalau nanti ini yang harus ditanyakan, jangan yang itu. Mereka diberi daftar pertanyaan. Kalau yang ditanyakan di luar daftar itu, mereka akan diamankan dan berurusan dengan negara karena mengancam “stabilitas nasional”. Para ketua kelompok tani pun hanya bisa mengangguk.

Setelah briefing itu, Mas Sis bertemu salah satu ketua kelompok tani dari Kecamatan Arjosari, Pacitan. Dia ingat betul, setelah keluar ruangan, si ketua bernama Suroto tampak galau. Dia kecewa sekaligus takut. Karena program bantuan 5 ton pupuk dan teknik irigasi dari pemerintah yang dijanjikan sejak awal tahun 1992 tak kunjung mereka dapatkan. Padahal petani se-Arjosari sangat berharap bantuan itu karena sedang dihajar kekeringan dan kurang pupuk, yang menyebabkan padi mereka puso.

Ketika Suroto menanyakan masalah itu pada staf menteri yang memberinya daftar pertanyaan, si staf menjawab; “Kamu jangan tanyakan itu. Tanyakan saja apa yang ada dalam daftar. Kalau tidak, nanti tahu sendiri akibatnya.” Suroto pun mengkerut dihardik seperti itu.



***

HARI istimewa yang ditunggu-tunggu tiba. Pengamanan serba ketat. Paspampres dan Kopasus membentuk pagar betis, mengelilingi helipad baru yang didarati helikopter Presiden dan rombongan. Begitu para pejabat turun, para petani yang hendak bertemu langsung dengan Bapak Presiden sontak menyambut gembira dari kejauhan. Mereka melambaikan tangan, yang dibalas dengan lambaian dan senyum ramah khas Soeharto.

Lalu seorang panitia langsung memerintahkan kameramen TVRI untuk mengambil gambar kegembiraan dan keakraban itu. Si kameramen menurut. Wartawan koran juga disuruh memotret momen itu dengan kamera pinjaman panitia itu. Semua nurut.

Dialog antara Presiden, menteri, dan rakyat itu tampak akrab. Bapak Presiden tampak murah senyum. Kamera TVRI terus mengambil gambar bapak yang ramah itu. Setiap pertanyaan petani dia jawab dengan lancar. Lalu para petani tertawa, ketika Bapak Presiden Soeharto melemparkan guyonan. Guyonan yang sudah diatur protokoler.

Setelah pertemuan akrab itu, secara simbolis Bapak Presiden menyerahkan bantuan pupuk dan bibit padi unggul. Benar-benar hanya simbol. Karena, sebenarnya bantuan itu tidak pernah ada. Setelah dialog selesai, Suroto dan kelompok taninya dari Arjosari pulang lagi ke desa, tanpa membawa solusi masalah pertanian yang mereka hadapi.

Lalu, yang tampak di hadapan khalayak penyimak berita keesokan harinya adalah dialog penuh kekeluargaan antara Presiden dan petani. Pejabat yang ramah, yang peduli petani sebagai garda depan program swasembada pangan. Kebutuhan petani terkesan dicukupi.

Di media-media tak tampak kebingungan Suroto. Mas Sis yang sebenarnya tahu tak bisa berbuat apa-apa karena aturan protokoler kepresidenan mengharuskan dia melaporkan apa yang diinginkan Sekretariat Negara. Tak boleh melaporkan yang lain, baik itu temuan, observasi atau investigasinya sendiri. Semua demi “stabilitas nasional”, juga demi keselamatannya. Mas Sis dipaksa masuk dalam sistem pembohongan publik yang terstruktur dan massif. Situasi yang sangat disesalinya hingga saat ini.

***

DAN Mas Sis, dalam suatu pertemuan dengan saya di Jakarta beberapa waktu lalu tiba-tiba mengeluh; “Aku merasa kembali ke tahun 1992…”. Tahun-tahun gelap ketika wartawan mendadak menjadi carik yang hanya mencatat.
image

NOTES:

Lama-lama aku sadar, yang dimaksud Mas Sis, yang kini memutuskan untuk menjadi pelukis setelah pensiun, “kembali ke masa Orde Baru” itu adalah ketika jurnalis mendadak menjadi tukang catat alias carik.

Bedanya, dulu jurnalis jadi carik karena terpaksa akibat kebiasaan represif sistem sentralistik otoriter demi “stabilitas nasional”, kini motivasi jurnalisme carik itu untuk “stabilitas” koloni bisnis yang menghidupi mereka dengan iklan.

Ah….

No comments:

Post a Comment