Tuesday, January 8, 2013

Mukena Perempuan Malam




“Aku tak tahu, apakah yang aku lakukan sekarang dosa atau bukan. Yang pasti aku percaya Tuhan punya cara sendiri ketika memutuskan apakah seseorang harus masuk surga atau neraka. Tuhan Maha Adil.” –Yoen, seorang wanita panggilan—


image





PADA suatu malam yang kebetulan, di Surabaya, sekitar sepuluh tahun silam, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar kostku. Ketika pintu aku buka, dari baliknya kudapati muka seorang sahabat kental dengan senyumnya yang menggambarkan suasana senang dalam kadar 150%. 


Sebelum aku membuka mulut mengucapkan selamat datang, Bram, sahabatku itu, langsung nyerocos; “Mari kita bersenang-senang kawan. Jangan menolak dan cepat ganti bajumu!” Ajakan berbau paksa khas Bram. Dan seperti biasanya, untuk sahabat satu itu, aku nyaris tak bisa berkata tidak. 


Sebenarnya malam itu aku malas ikut dia jingkrak-jingkrak, kemalasan yang sebenarnya selalu muncul setiap ajakan serupa terlontar di waktu-waktu sebelumnya. Malam itu dia ingin clubbing di sebuah klub malam kelas wahid, di dalam sebuah hotel bintang lima kawasan Surabaya Pusat.  Aku pernah sekali diajaknya ke situ. Dan ketika aku membayangkan suasana hatiku ketika pertama kalinya aku menjejak tempat itu, yang menurutku sama sekali tidak nyaman, rasa malas seolah memerintahkan aku untuk menggeleng pada Bram dan menarikku kembali ke kamar menikmati kasur butut dan novel-novel romanku.


Suasana gaduh dan remang-remang tempat itu, kadang disela kelap-kelip lampu disko yang berkelebat tak capek semalam suntuk, selalu berhasil membuatku pening. Aku memang tak terbiasa bergaul dengan tempat-tempat seperti itu. Sebagai mahasiswa yang hidup dalam nuansa krisis ekonomi pribadi –bisa bayar SKS saja sudah alhamdulillah– datang ke tempat-tempat yang sering dijelajahi Bram itu tak pernah masuk dalam agendaku. Duit dari mana? Karena tak terbiasa itulah, tempat itu menurutku asing dan freak. 


Tapi, ketika ingat sahabat itu terlalu sering membantuku secara finansial tiap aku terbentur krisis moneter (situasi yang sangat sering aku alami sebagai mahasiswa), yah, mau tak mau kuturuti ajakannya. Itung-itung bentuk terimakasih atas bantuannya selama ini, dan ungkapan balas budi hanya bisa aku lakukan dalam rupa selalu bersedia untuk menemaninya bersenang-senang, kendati pun hati sebenarnya menolak. Untuk kepantasan saja dan memelihara kesan sebagai manusia yang tahu diri. 


Dan aku tahu, Bram selalu senang setiapkali aku menerima ajakannya. Dan sejauh hampir tiga tahun perkawanan kami, dia tak pernah mengungkit semua kebaikannya padaku, di mana aku rasa kebaikan itu lebih dari cukup. Kurasa dengan selalu menerima ajakannya, posisi itu kami impas, saling timbal balik.


Aku berdandan sepantasnya, sementara Bram menunggu di mobil. Setelah itu aku menyusulnya ke mobil sedan Honda Civic warna hitam yang dibeli orangtuanya khusus untuk Bram, yang dipermak sporty dan gaul. Aku dipersilahkan duduk di bangku depan.


Begitu masuk mobil, tak sengaja aku tengok ke jok belakang. Ada perempuan. Masih sangat muda, dan aku rasa usianya masih di bawah kami.


Gelapnya ruangan dalam mobil tak bisa mengaburkan kecantikan perempuan ini. Kulitnya sawo matang. Mukanya tirus. Matanya lebar berbinar, tajam. Hidungnya tak mancung, juga tidak pesek. Bibir atasnya tipis, sementara bawah agak tebal; kemasan simetris yang seksi. Alisnya dicukur habis dan tempatnya diambilalih oleh tato. Rambutnya ikal sebahu, dijepit kanan dan kiri. Lesung pipit ketika tersenyum menambah sempurna komposisi wajahnya. 


Temanku memperkenalkan kami. ”Yoen. Pakai “oe”, bukan “u”,” perempuan itu memperkenalkan diri. Suaranya tegas tapi tak mengaburkan nuansa ferminin.  


”Mantap kan, Bro,” Bram membanggakan pilihannya malam itu. Ya, ya, aku kenal Bram; Yoen adalah perempuan yang ”melengkapinya” malam itu. Aku merespons Bram dengan senyum sekenanya, plus anggukan biasa. Tapi, yah, memang Yoen mantap. Aku mengamini itu. Soal perempuan, selera Bram memang bagus.


Setelah basa-basi busuk singkat itu, mobil yang kami tumpangi menderu, melaju. Deru knalpot yang cenderung meraung membelah malam kebetulan itu menuju sebuah tempat di mana orang-orang tajir sibuk menghamburkan “duit receh” mereka.


***


SUASANA dalam pub itu masih aku rasa sama dengan hawa ketika pertama ke situ. Musik berdentum, ruang remang, kelebat lampu disko, dan aroma asap rokok yang berebut tempat dengan pendingin dan pengharum ruangan. 


Dan Bram yang sudah memahami aku tak memaksaku melantai. Dia tahu betul aku tak suka itu. Dia memesan meja, lalu aku dipersilahkan duduk dan memesan minuman apapun dengan harga berapapun. 


Setelah menyediakan tempat di “titik paling nyaman” dalam ruangan yang membuatku kikuk itu, Bram langsung menggandeng Yoen ke tengah lantai disko. Membaur bersama orang-orang yang sudah lebih dulu bersesak-sesak di atasnya. Lalu, Bram memulai ritual kegembiraan khas gaya hippies anak orang berduit; clubbing plus dorongan beberapa gelas tequila dan ekstasi yang ketika itu bisa dia dapatkan dengan mudah di dalam klub. 


Sementara aku memaksakan diri untuk nyaman di salah satu sofa di sudut ruangan itu, sebisa mungkin jauh dari speaker gede yang berdentum. Aku ditemani segelas besar bir.


Setelah sekitar tiga puluh menit aku sendirian menikmati birku, dan menatap para polah tingkah para clubber yang tak pernah bisa aku pahami itu, tiba-tiba Yoen datang. Dia empaskan tubuhnya dan duduk begitu saja di sebelah kiriku. Napasnya memburu setelah jingkrak-jingkrak, tapi keringatnya tetap saja wangi. Dia letakkan tas wanita merah menyala di antara kami. 


”Capek nuruti maunya temanmu itu,” dia membuka perbincangan.


”Kenapa?”


”Tenaganya seperti tak pernah habis. Apalagi kalau sudah kemasukan “I” (ineks), genjot sampai pagi,” katanya, lalu tertawa lepas. ”Nggak ikut turun?” tanya Yoen tiba-tiba padaku.


”Oh, tidak, aku tak suka.”


”Lalu, kenapa mau diajak ke tempat ini?”


”Cuma ingin menyenangkan dia saja. Kewajiban sahabat,” jawabku sekenanya, tapi memang itulah motivasiku datang ke tempat tersebut.


”Oh,” Yoen menjawab singkat. 


”Menyenangkan orang. Haha. Bagaimana pun caranya, pasti ada pahalanya,” sambungnya, lalu menoleh padaku dan tersenyum. Senyumnya yang tak bisa aku artikan. 


”Mungkin,” kembali aku menjawab sekenanya, sembari membalas senyumnya dengan kikuk. 


Memang cantik perempuan satu itu. Sebagai lelaki normal, tumbuh sedikit ketertarikan seksual dalam otakku. Si Bram dapat dari mana?


Dari kursi kami, Yoen asyik memandangi polah orang-orang di lantai disko itu, sembari sesekali mengecek ponselnya. Sesekali kepalanya manggut-manggut mengikuti irama musik yang tak begitu terasa jedag-jedug dari tempat duduk kami. 


”Rokok?” tanyanya kepadaku. Tanpa menunggu jawabku, dia buka resleting tasnya dan mengeluarkan sebungkus kretek filter beraroma mentol. 


Dan, tanpa sengaja, isi tasnya terlihat sedikit olehku. Sebuah pemandangan yang menurutku tak lazim memaksa jidatku otomatis berkenyit. 


Rupanya Yoen melihat perubahan mendadak pada mimikku itu. ”Pernah lihat mukena, kan?” tanyanya langsung. Tegas. Aku seperti kena tohok. 


Belum sempat aku menjawab, dia melanjutkan, ”Yah, kalau ‘perempuan kotor’ seperti aku membawa barang suci seperti mukena ini, memang selalu terlihat aneh”. Ada tekanan khusus ketika dia menyebut kata “perempuan kotor”. Sangat sinis.


Aku gelagapan, sungkan mau melanjutkan tanya demi menuntaskan rasa ingin tahuku yang menjadi-jadi saat itu. Otakku menendang-nendang agar bertanya.  Tapi canggung mencegahku untuk itu.


Tapi, entah bisa membaca pikiran orang, atau karena terbiasa lantaran setiap orang yang baru melihat kebiasaannya itu selalu terheran-heran –seperti aku– Yoen seperti bisa menebak apa yang hendak mereka tanyakan. Dan tanpa perlu pertanyaan dariku, Yoen memilih menjelaskan.


”Biar orang bilang aku ‘kotor’, aku tetap percaya Tuhan.” Lalu dimulailah kisah yang membuatku masih bertanya-tanya sampai saat ini. Kisah yang mengalir dalam gaya tutur Yoen yang lugas dan sinis.


                                                     ***


YOEN adalah anak perempuan tunggal seorang duda penarik becak yang ditinggal mati istrinya. Bapaknya membesarkannya dalam sebuah lingkungan yang tak ideal, di sebuah kawasan kumuh di Surabaya Utara. Sejak bayi Yoen tak pernah merasakan kasih seorang ibu. 


Hidup masa bocahnya keras dan miskin. Dia mengecap pendidikan hanya sampai kelas II SMP. Di sekolah Yoen tak pandai. Nilai studinya selalu hancur. Tiga kali dia tinggal kelas. 


Melihat situasi tak menentu Yoen di sekolahnya, lama-lama bapaknya yang doyan judi itu frustasi. Katanya, Yoen goblok, dan percuma meneruskan sekolah. Buang duit. Dia suruh Yoen keluar. 


Tak lama setelah Yoen keluar dari sekolah, bapaknya mati digebuki orang yang dia utangi. Utang bukan untuk hidup sehari-hari, tapi utang untuk cari peruntungan di meja judi. Peruntungan yang tak pernah dia temui karena bapak Yoen adalah pecundang di antara para penjudi. 


Setelah bapaknya tak ada, Yoen dituntut untuk bisa menghidupi diri sendiri. Demi hidup, dia mengamen, mencucikan baju orang, atau menjajakan gorengan buatan tetangganya dengan berkeliling kampung.


Semua dilakoninya begitu saja hanya demi upaya menyambung hidup. “Ketika itu aku tak pernah membayangkan masa depanku seperti apa. Aku melakukannya hanya karena aku butuh untuk hidup hari ini.”


Lalu, tibalah Yoen pada sebuah hari yang tak pernah dibayangkannya. Hari yang menjadi titik tolak kehidupan ekonominya, yang berlangsung hingga malam pertemuan kami itu.


”Waku itu aku jualan koran di lampu merah. Umurku lima belas tahun. Saat aku menawarkan koran di salah satu mobil, tiba-tiba seorang bapak-bapak di mobil itu membuka kaca mobil dan menanyakan nama dan rumahku. Aku jawab apa adanya, karena aku memang tak pernah mempunyai pikiran buruk pada orang. Setelah menanyakan nama dan alamatku, orang itu membeli koran dan bilang aku ini cantik,” kenang Yoen. 


Setelah pertemuan di pagi yang kebetulan itu, tanpa diduga, saat petang jelang malam, pria itu datang ke rumah Yoen. Saat itulah Yoen mendapat tawaran yang tak bisa dia tolak. “Kata bapak itu, aku punya masa depan bagus di dunia malam. Dia mengajakku untuk bekerja dan mengiming-imingiku hasil yang sangat besar, yang jumlahnya belum pernah aku bayangkan sama sekali sebelumnya. Mulanya aku ragu, apa bisa aku bekerja dengan pendapatan besar sementara aku ini bodoh. 


 “Tapi, bapak itu meyakinkan aku, kalau pekerjaanku nanti mudah. Dia yakin aku bisa dan bersedia mengajariku banyak hal. Tak perlu ijazah, atau belajar IPA, untuk bisa hidup senang di dunia ini,” papar Yoen panjang, lalu melempar kedip genit ke aku. 


Lagi-lagi aku tak paham pesan dari bahasa tubuhnya itu.


Setelah berkali-kali diyakinkan oleh si bapak, Yoen yang masih lugu kala itu menerima tawaran. Lalu, dia hijrah dari kampung kumuhnya untuk menetap di sebuah rumah yang berdiri di lingkungan menengah ke atas di kawasan Surabaya Selatan. 


Ternyata di rumah mewah itu ada tinggal wanita remaja lain yang seumuran Yoen. Yoen langsung merasa nyaman karena dia punya teman, sosok yang tak pernah dipunyainya selama hidup di kampung kumuhnya. Di rumah itu jugalah, Yoen mendapat “pelatihan” untuk profesi yang bakal dilakoninya, bareng teman-temannya.


Awalnya dia kaget dan takut ketika tahu dia sedang dibentuk sebagai wanita penghibur. Dunia itu sama sekali asing baginya, yang penuh dengan orang-orang asing pula. Tapi, singkat kata, berkat bimbingan “mentor” dan dukungan teman-temannya yang lebih dulu nyemplung di dunia itu, Yoen pun mulai menjalani kehidupan barunya.


 “Keperawananku dijual lima juta,” kata Yoen. Ya, mahkota Yoen itu lepas dengan harga yang disebutnya, ketika usianya 15 tahun. Dan ketakutan Yoen terhadap dunia malam yang akan dilakoninya pun berubah menjadi kenikmatan dan kesenangan setelah “ritual” lepas perawannya itu.


Selanjutnya, Yoen mendapat banyak kesenangan di dunianya itu; setiap hari hura-hura dan menjala banyak uang –benda yang di masa kecilnya tak begitu akarab dengannya. Dia habiskan tiap malam dengan clubbing, mabuk, dan melayani pria-pria pemburu syahwat. 


Yoen adalah wanita panggilan eksklusif. Dia tak dipajang di wisma pelacuran, yang mengharuskannya menerima siapa saja yang ingin menidurinya. Dia hanya menerima order khusus, yang awalnya datang melalui si bapak “penemu bakat” yang “menyelamatkannya” dari kehidupan jalanan. Tamunya bukan orang sembarangan. Sekali booking, “Minimal sejuta lah,” katanya.


Hingga pada suatu titik di tahun 1999, atau sekitar dua tahun sejak “debut”-nya, tiba-tiba Yoen merasa jenuh. 


”Lama-lama aku merasa seperti ada yang aneh. Materi lebih dari cukup, tapi aku masih juga merasa ada yang kurang. Batinku sama sekali tak tenang.” 


Itulah yang menjadi awal Yoen untuk mulai melakukan “pencarian” terhadap rasa tenang. Dengan uangnya  yang banyak, Yoen terus mencari-cari apa sebenarnya dirasa kurang itu. 


Lalu, pada suatu titik, Yoen teringat tentang sekelumit Islam yang pernah sedikit diajarkan padanya di sekolah. Dalam gundahnya, Yoen merasa seakan diajak kembali ke agama itu. Tapi, masih ada rasa takut untuk melakukannya. Karena dia merasa tak ada yang mebimbing, sementara pengetahuannya sangat, sangat minim. Dia ingin datang ke ulama, ulama atau pondok pesantren, tapi takut mencegahnya. 


Dia takut ditolak. Alasannya, ”Karena kata orang-orang aku ‘kotor’. Aku pasti ditolak di tempat-tempat suci itu,” prasangka Yoen kala itu.


Prasangka itulah yang membuatnya berinisiatif untuk melakukan pencarian secara “swadaya”. Bersama uangnya, Yoen mulai berusaha mencari Tuhan. 


Tempat pertama yang ditujunya adalah toko buku. Di situ dia memborong banyak buku religi, mulai dari panduan salat lengkap dan doa-doanya, sampai karya-karya pemikir-pemikir besar umat Islam. Yoen, yang di waktu sekolah dulu tak naik kelas sampai tiga kali, mulai belajar agama secara autodidak. 


”Tak ada orang yang mengajariku. Tapi, aku merasa bisa dengan mudah mempelajari semua. Tak seperti di sekolah, di mana aku kesulitan menerima pelajaran agama dari guru. Seolah ada yang datang untuk jiwaku, lalu membimbingku agar lebih dekat dengan-Nya. Lama-lama aku bisa salat. Eh, lama-lama seperti kecanduan. Kalau tidak salat, rasanya ada yang kurang dalam hidupku, hahaha,” Yoen tertawa lepas. 


Dia jeda sejenak ceritanya untuk mereguk minuman sodanya yang nonalkohol, lalu menghisap rokok dinginnya dalam-dalam.


Dia embuskan asap pelan-pelan. ”Sejak itu aku tak tak pernah lepas dari lima waktu. Kalau tidak salat, rasanya aneh.”


Yoen memang sudah mulai menemukan kenyamanan dalam Tuhan. Tapi, dia merasa rintangannya untuk menuju Tuhan masih belum tuntas. Dalam masa “bulan madunya” dengan Sang Kuasa itu, Yoen merasa dibenturkan pada sebuah ambiguitas atas nama kepatutan. 


Dalam pandangan umum tentang agama, di mana pandangan itu juga yang diyakini Yoen, agar bisa lebih dekat dengan Tuhan, seharusnya Yoen menjauhi semua larangan-Nya. Dan  menurut sudut pandang normatif yang berkembang di tengah masyarakat tempat di mana Yoen hidup, kehidupan yang dilakoni Yoen itu bertentangan dengan ajaran Tuhan. Itu zina, dan zina adalah perbuatan yang dilaknat oleh Tuhan yang dipercayai Yoen. 


Dan masih dalam angkuhnya diksi “seharusnya”, ketika ingin semakin dekat dengan Tuhan, Yoen harus keluar dari dunia malamnya. Dan Yoen pun mencoba. 


Dia mulai berusaha mencari kerja yang “jauh dari dosa”. Dia berusaha memasukkan lamaran sebagai buruh di banyak pabrik yang banyak berdiri di kawasan Surabaya dan Sidoarjo. Tapi, fakta bahwa Yoen hanyalah lulusan SD, sementara ijazahnya sendiri tak jelas ada di mana, seolah membangun tembok raksasa yang memisahkannya dari kesempatan kerja.


Setelah upaya masuk ke dunia buruh benar-benar menemui jalan buntu, Yoen coba memanfaatkan hubungannya di dunia malam untuk mencari pekerjaan yang “sedikit lebih halal”. Dia coba melamar menjadi waitress di beberapa klub malam yang pernah disambanginya bersama klien. Tapi, tetap saja tak ada yang mau menggunakan tenaganya, apalagi tempat yang mengenal Yoen sebagai “perempuan kotor”.


”Aku bingung, kerja apa? Aku harus kerja karena aku butuh makan, menghidupi diri. Tapi, siapa yang mau menerima lonte seperti aku,” nada yang terlontar itu menggambarkan dengan jelas keluh di masa lalu. 


Aku, lagi-lagi, hanya diam menunggu kata-kata selanjutnya meluncur dari bibir Yoen, sembari mengambil sebatang rokok Yoen, dan menyalakannya.


Di tengah kebingungan dan keterdesakannya, Yoen mengambil sebuah keputusan radikal; dia tetap jalani kehidupan malamnya demi hidupnya, tapi dia tak pernah lupa wajibnya pada Tuhan demi matinya nanti. 


Tapi, dia mulai meninggalkan kebiasaan menenggak alkohol atau mengonsumsi narkoba. Dia benar-benar mendefinisikan aktivitas malamnya itu sebagai upaya mencari nafkah —yang menurut dia, cuma itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh. 


Dia tak menganggap kehidupan malamnya itu sebuah kesenangan duniawi yang bisa membuat Tuhan marah. Dia memandangnya sebagai sebuah upaya “terpaksa” demi rasa terimakasih pada Tuhan yang telah memberinya hidup.


Untuk memperkuat imannya, selain lima waktu wajib, Yoen menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk masjid atau panti asuhan. Dia menyalurkannya sebagai anonim. ”Biar masjid atau panti asuhan tidak jijik karena menerima sumbangan dari lonte,” sinis masih tak bisa Yoen sembunyikan.


Dan, inilah lakon hidup Yoen hingga malam itu. Setiap malam dia tetap menerima order dari lelaki-lelaki pencari pemuas libido. Biasanya, dia dapat order selepas Magrib dan pulang Subuh. Di tengah aktivitasnya, Yoen tak mau meninggalkan Isya. Dengan alasan itulah, dia selalu membawa mukena ketika sedang “bekerja”.


”Setiap habis ”main” sesi terakhir, sebelum Subuh, aku mandi besar. Setelah itu salat Isya’. Aku punya kewajiban yang harus aku tuntaskan.” 


Sebuah pola hidup dan ritual yang aneh, setidaknya menurutku malam itu. 


Di awal metamorfosanya, beberapa tamu Yoen terheran-heran mendapati perubahan radikal pada sosok si wanita penghibur. ”Tapi lama-lama mereka tak peduli. Yang penting aku sudah memberikan mereka mau. Yang mereka cari hanya tubuhku, bukan jiwaku.” 


Setelah itu, semua pelanggannya, mungkin termasuk Bram –yang aku sendiri belum yakin Bram tahu kehidupan spiritual Yoen— , menganggap apa yang dilakukan Yoen itu biasa.


Untuk pertama kalinya, di sela kisah tutur Yoen, aku menyelipkan sebuah pertanyaan; “Tak ingin punya suami? Berumah tangga? Mungkin itu bisa mengeluarkanmu dari kehidupan sekarang.”


Dan, tentu saja, jawaban luar biasa sinis lah yang aku dapat dari Yoen. “Ada yang mau menikah dengan pelacur? Kamu mau? Hahaha..” tawanya lepas dan putus asa.


Respons yang memaksa mulut dan otakku terkunci. Aku diam.


Yoen menerawang sesaat. Beberapa detik.


Lalu, dengan keyakinan yang dalam, Yoen melanjutkan; ”Aku berjanji tak akan menyerahkan jiwaku pada orang lain. Tubuhku boleh dinikmati banyak orang, tapi jiwaku hanya untuk Tuhanku.”


”Aku tak pernah menyalahkan Tuhan karena tidak menciptakan aku sebagai orang pintar, yang membuatku harus tersesat dalam kehidupan seperti ini. Aku selalu menghargai Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya karena memberiku hidup dan rezeki melalui jalannya yang misterius. 


 “Aku sendiri tak tahu, apakah yang aku lakukan sekarang ini, dan entah sampai kapan aku akan menjalani ini, termasuk dosa atau bukan, meski aku punya alasan untuk itu. Yang aku percaya Tuhan pasti punya rencana yang baik untuk umat-Nya yang yakin dan berusaha. Menurut buku seorang ulama besar yang aku baca, Tuhan cara sendiri untuk memutuskan apakah seseorang layak tinggal di surga atau neraka. Tuhan Maha Adil. Tuhan Maha Baik.”


Kalimat yang dalam. 


Yoen mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskan pelan-pelan asap dingin itu. Tampak tenang dia, di antara kepulan asap berbaur aroma alkohol dan dentuman house music tak ada matinya; suasana yang “jauh dari Tuhan” sekaligus pernak-pernik pelengkap Yoen dalam usahanya menuju Tuhan.


                                                   ***


JARUM jam melangkah. Malam hampir selesai. Bram dengan muka pucat dan tubuh penuh keringatnya sepertinya sudah puas mereguk kesenangan duniawinya di malam yang sebentar itu. 


Dia menyeruak, mengempaskan tubuhnya di sofa, tepat di tengah-tengah, antara aku dan Yoen. 


”Sudah puas? Sekarang?” tanya Yoen pada Bram dengan nada kalem, sembari mengelap keringat di wajah temanku yang ganteng itu dengan tisu basah. Seperti sedang mengelap muka kekasihnya.


Dengan senyum dan kerling nakalnya, Bram mengangguk. 


”Tapi kita antar dulu dia pulang. Dia tidak termasuk dalam agenda selanjutnya,” Bram menunjuk aku, lalu tertawa lepas. Tawa yang langsung amblas ditelan dentum musik yang tak pernah berhenti. 


Yoen menatapku sekilas dengan sebuah pandangan yang, lagi-lagi, aku tak paham maknanya. 


Aku pun dipulangkan ke kost untuk kembali pada kenyataan ekonomi dan sosialku yang harap maklum. Sementara Bram dan Yoen melaju ke sebuah tempat yang aku tak tahu; untuk mencari kesenangan duniawi sesaat. 


Kesenangan yang bagi Yoen –mungkin– bukan sekadar kesenangan duniawi yang dangkal. Tapi lebih pada sebuah upaya untuk menghargai Tuhan yang telah memberinya hidup; untuk terus bertahan hidup dengan cara apapun. 


Malam itu memberiku bingkisan kisah tentang sebuah upaya seorang manusia yang ingin membangun kemesraan privat dengan Tuhan. Kemesraan yang bisa dia dapat dan nikmati, tanpa direcoki dogma multiinterpretasi yang tak jarang malah membuat umat berpikir terlalu dangkal.


                                                  ***


SEJAK dini hari itu, tak pernah lagi aku dengar kabar Yoen. Setelah malam yang kebetulan itu, Bram tak pernah melibatkanku dalam setiap pertemuannya dengan Yoen. Dia juga tak pernah membahas Yoen dalam setiap percakapannya denganku. 


Yang aku tahu hanyalah, Bram dan Yoen hanya berhubungan melalui telepon dan membuat janji bertemu di suatu tempat. Bram mengaku tak pernah tahu di mana Yoen tinggal. Yah, Bram tidak butuh mengenal kedalaman Yoen, karena dia hanya butuh tubuhnya yang cantik.


Perempuan itu tetap jadi misteri yang tak terpecahkan buatku sampai sekarang. Ada beberapa logika yang tak bisa kupahami dari fakta pergulatan batin —yang diceritakan Yoen padaku di tempat hiburan malam itu. 


Ah, sudahlah. Berurusan dengan Tuhan tak akan pernah tuntas jika seseorang berkukuh pada logika yang serba terbatas. Yang pasti, di dalam hidupnya yang “kotor”, Yoen telah berhasil menemukan jalan menuju Tuhan. 


Selamat Yoen.





Jakarta, 25 Januari 2010


1 comment: