Monday, January 28, 2013

"Kita" Bukan "Kami"

SAYA bukan ahli bahasa. Tapi, dengan intuisi dan logika yang sederhana, saya merasa ada yang sedikit janggal dengan pemilihan kata ganti yang seringkali itu dikutipkan di berbagai media, baik cetak, online, bahkan televisi. 


Kata ganti itu adalah “kami” dan “kita”.


Secara umum, kedua kata ganti itu menginterpretasikan lebih dari satu individu, atau kata ganti untuk orang jamak. Tentu beda antara aku dan kamu yang mewakili individu tunggal.


Sejauh pengetahuan saya, dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti kedua kata ganti itu beda kok. “Kami” adalah kata ganti jamak untuk orang pertama dengan ketiga. Sedangkan “kita” menginterpretasikan antara orang pertama dan kedua. 


Dalam teori komunikasi, Harold D Laswell punya teori. “Kita” digunakan ketika komunikator (yang menyampaikan pesan) dengan komunikan (yang menerima pesan) terlibat dalam sebuah situasi yang sama. 


Sedangkan untuk “kami”, komunikator membangun jarak dengan komunikan, atau tidak melibatkannya dalam sebuah situasi.  Komunikator menempatkan diri dalam satu kesatuan situasi dengan orang ketiga. Orang itu bisa komunikan sekunder, bisa juga audiens yang tak terlibat komunikasi langsung, tapi terlibat situasi yang sama dengan komunikator.


Ada syarat tertentu di mana orang bisa menggunakan kata ganti “kita”. Misalnya dalam kalimat,



“Mari kita makan.”



Pada kalimat itu, orang pertama mengajak orang kedua makan. Itu artinya orang pertama mengajak orang kedua terlibat dalam sebuah situasi yang serupa. Dalam kalimat tersebut, penggunaan kata “kita” itu tepat.


Tentang kata “kami”, ada juga beberapa situasi yang jadi syarat di mana kata ganti ini bisa digunakan. Misalnya,



“Kami sudah menunggu Anda dari tadi.”



Dalam kalimat ini, orang pertama membangun jarak dengan orang kedua, dan menempatkan posisinya sebagai satu kesatuan dengan orang ketiga. Yang menunggu adalah orang pertama dan ketiga, sementara orang kedua tidak. Ada separator antara orang pertama dan kedua, di mana orang kedua tidak terlibat dalam situasi yang sama dengan orang pertama. 


Nah, yang sering bikin saya bingung, kadang ada teman-teman wartawan memilih kata “kita” sebagai kata ganti, dalam artikel atau reportase mereka. Padahal, dalam pembicaraan itu, orang pertama (wartawan) tidak sedang berada dalam situasi yang sama dengan orang kedua (narasumber). 


Ambil contoh ketika seorang wartawan mewawancarai pejabat kepolisian yang menangani sebuah kasus. Jamaknya, dalam reportase mereka, wartawan itu menggunakan kalimat langsung seperti ini;



“Kita sedang mengembangkan penyelidikan.” 



Di sinilah ambiguitas “kita” muncul. Apakah si wartawan, sebagai orang kedua yang mencari sumber informasi dari orang pertama (polisi/narasumber atau komunikator) terlibat dalam situasi yang sama dengan si polisi? Apakah wartawan itu juga ikut menangani kasus dalam situasi yang sama dengan si polisi? 


Jawabannya, tidak. Memang boleh wartawan ikut menyelidiki sebuah kasus untuk mendapatkan berita yang eksklusif, tapi metode yang digunakan jelas berbeda dengan polisi yang dia tanyai tadi. Intinya, keduanya tidak pernah terlibat situasi yang sama dalam objek tulisannya, meski tujuannya sama. Jadi lebih tepat kalau si wartawan dalam naskahnya menuliskan kalimat langsung dari pak polisi itu begini:



“Kami sedang mengembangkan penyelidikan.”



Pemilihan kata ganti inilah yang seringkali dipraktikkan salah kaprah oleh beberapa jurnalis atau media massa (yang menggunakan kata ganti kurang tepat tapi lolos editing). Seolah-olah ada pemahaman yang keliru, yang menginterpretasikan kalau “kita” itu sama artinya dengan “kami”, dan itu sengaja dipelihara. 


Jikalau kebudayaan menyamaartikan “kita” dengan “kami” ini terus menerus dipraktikkan, lama-lama esensi bahasa dalam kata ganti itu akan luruh. Bisa dikatakan ada erosi bahasa yang disengaja.


Mungkin saja ada beberapa situasi yang menyebabkan ada salah kaprah pengartian “kita” dengan “kami”. Bisa saja si jurnalis tergesa-gesa mengetik naskahnya karena dikejar tenggat waktu, sementara editor pun meloloskannya juga karena tergesa-gesa. Bisa juga karena jurnalis atau editornya memang tidak paham apa beda “kita” dan “kami”. 


Bisa juga karena si wartawan bermaksud mengutip persis apa yang dikatakan narasumber dalam kalimat langsungnya, di mana si narasumber menggunakan kata ganti “kita” untuk sebuah situasi yang seharusnya menggunakan “kami”, seperti kutipan polisi yang menangani kasus tadi. Kalau yang terakhir yang terjadi, beda lagi ceritanya. Narasumber saja, yang umumnya orang ngerti dan pandai (karena alasan ini dia dipilih sebagai narasumber), tidak paham esensi sebuah kata. Bahasa benar-benar tergerus kalau begitu.


Apa pun alasannya, pemahaman antara “kami” dan “kita” itu perlu dirapikan. Jangan sampai salah kaprah mencampuradukan keduanya, atau mengartikan keduanya sama. Kalau media terus menerus meloloskan itu, dan audiens menyimak berita yang tertulis dengan kata ganti yang kurang tepat itu memahaminya sebagai sebuah “kebenaran”, itu sama artinya peran media massa sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, to educate, sudah murtad dari khitahnya. 



Kita bukan kami bung!(*)


No comments:

Post a Comment