Monday, January 21, 2013

Kereta Pukul 3 Sore dari Jakarta



“Aku datang dengan kereta. Masuk stasiun kota jam 3 sore. Paling-paling terlambat sejam. Aku berhasil Dik. Bapakmu tak akan lagi menolak aku. Tunggu aku.


Tarno.”




 


SELAMA 40 tahun Stasiun Kota kecil bernama M itu merekam rapi sebuah cerita tentang hati yang tak pernah mengeluh dalam mempercayai harapan dan memeliharanya dengan telaten. Cerita tentang cinta yang ditukar tempe.


Kisah tentang sebuah kesediaan menunggu yang tak pernah padam.


 



image                                                  



SAHIBUL hikayat, pada suatu waktu di tahun 1958-an, berjayalah sebuah desa yang khas dengan sentra perajin tempe bernama Bale, di Kabupaten M. Sebuah desa di mana feodalisme Jawa, yang mendewakan kasta, hidup dan menentukan semuanya.


Di antara ratusan orang yang hidup di desa itu, adalah sesosok perempuan muda yang ranum. Namanya Sumiati. Orang-orang biasa memanggil dia Sum; singkat dan mudah diingat. Sum  mekar bersinar seperti bunga matahari.


            Di masa itu, usianya 18 tahun. Dia lulusan SMA. Pada masa tersebut, di Desa Bale jarang ada anak muda bisa menyelesaikan pendidikan hingga mengantongi ijazah SMA. Yang bisa mencapai level itu disebut istimewa. Pendidikan tinggi pun membentuk Sum sebagai pribadi yang pintar menempatkan diri dan menghargai orang lain. Sikap yang membuat wanginya kian semerbak.          


            Sum adalah anak semata wayang “raja tempe” dari Bale; juragan produsen lauk-pauk sarat protein nomor satu se-desa bernama Kasan Setro. Tempe buatannya memang tak biasa. Cuma dicampur kemiri sama garam saja, tempe itu sudah menjelma jadi makanan istimewa yang nikmat.


            Kasan Setro –yang biasa disebut Gan Setro—memendam ambisi besar. Dia ingin tempenya berekspansi ke seluruh negeri. Wajar jika dia punya angan-angan itu. Kualitas unggul tempe produksinya memang pantas diperkenalkan hingga ke seluruh pelosok negeri.


Di tahun 1958, bahkan Setro sudah “menahkodai” tempe-tempenya merambah jauh, hingga masuk pasar Jakarta. Pesanan datang bertubi, tak ada habisnya. Untuk memenuhi permintaan pasar, Setro punya banyak pekerja. Sekitar 40-an.       


Salah satu anak buahnya yang paling cekatan dan rajin adalah Tarno. Seorang pemuda berusia 20 tahun. Lajang berbadan tegap pun kokoh. Selain pekerjaan reguler sebagai perajin tempe binaan Setro, Tarno punya sampingan mburuh setiap musim tanam padi tiba. Di desanya, Tarno kondang sebagai sosok pemuda ideal; pekerja tangguh dan pintar membawa emosi, kendati tak pernah mengenyam pendidikan setinggi Sum.


            Tarno hanya lulus SD. Untuk masuk SMP, Joyo Temung, bapak Tarno, tak sanggup membiayai. Tarno pun memaklumi kondisi bapaknya yang melarat, dan menerimanya tanpa keluhan. Sejak lulus SD, Tarno mulai belajar bekerja dan hidup mandiri.


 


***


SAYANGNYA, komposisi antara kepribadian pria idaman gadis desa yang ada pada diri Tarno belum cukup untuk memberinya cinta yang pantas gara-gara dia melarat dan berpendidikan rendah. Cara pemeringkatan sosial yang lazim di tengah budaya feudal Jawa Desa Bale.


Jika status pendidikan formalnya dikesampingkan, sebenarnya Tarno layak mendapatkan perempuan terbaik di desa itu sebagai istri. Sialnya, perempuan terbaik itu adalah Sum, yang tak lain tak bukan anak juragannya. Jelas kasta mereka beda jauh. Tarno sudra, sementara Sum hidup di dalam kasta ksatria berkat warisan darah dari bapaknya.


            Hingga tiba pada suatu masa cinta datang tanpa permisi. Juga tak bisa dipesan atau ditangguhkan. Mburuh di perusahaan tempe Setro mempertemukan Tarno dengan cinta yang pelik. Pasalnya, dia merasakan cinta ketika melihat Sum pada pandangan pertamanya.


            Sebagai lelaki normal, Tarno juga mengamini keelokan Sum, layaknya pria-pria muda desa lainnya. Dengan dandanan rambut kepang dua yang kala itu sedang musim, badan lencir kuning dengan tangan gendewo pinentang, lelaki mana tak “cur-cur” melihat Sum? Itu pula yang dirasa Tarno sebagai lelaki asli.


Tanpa dia sadari, waktu menggiringnya untuk menjadi salah satu pria yang mengidamkan Sum.


            Sayangnya, pola hubungan “yang seharusnya” antara Tarno dan Sum di tengah hukum feodal itu pada akhirnya mengkategorikan angan Tarno itu sebagai “wagu”. Tarno sadar itu. Kesadaran itu pula yang membuatnya tak berani mimpi bisa menyanding Sum. Kendati dalam hati keinginan itu tak bisa bohong dan terus hidup di dalam Tarno.


Tarno pun hanya punya hak untuk memelihara cinta Platonis; mengeksploitasi keindahannya dalam imajinasi-imajinasi –ruang yang tak terbentur hukum feodal.


            Tarno tak pernah tahu bahwa cinta kerap memberikan kejutan. Juga bahwa cinta tumbuh tak peduli status. Pada suatu siang yang berbinar, Tarno yang sedang mengolah tempe tanpa sengaja bertemu pandang dengan Sum, yang kebetulan menengok dapur. Seolah semesta telah mengatur pertukaran tatapan mata itu. Ketika keduanya berjumpa untuk kali pertama, ada sesuatu yang bekerja dengan sendirinya. Dan terjadilah situasi yang sebelumnya tak berani diimpikan Tarno.


            Tarno dan Sum terlibat cinta. Ya, cinta, yang menghambur dan mengalun begitu saja, tanpa bisa mereka tolak. Dari curi-curi pandang malu di dapur, lalu mereka mulai terlibat percakapan. Dari percakapan tumbuhlah perkenalan, dari perkenalan itu mekarlah keserasian.


Cinta pun tumbuh antara buruh dan anak juragan.


            Sayangnya, sekali lagi, ketika itu tahun 1958 di Desa Bale. Feodalisme, khususnya di pedesaan Jawa seperti Desa Bale, masih jumawa. Kalau mau cari jodoh, harus pandang bibit, bebet dan bobot.


Cinta hanya boleh tumbuh dalam kasta yang setara. Kalau njomplang, misalnya dari kelas ningrat dengan abdi, hukumnya haram.


Tapi yang “haram” itulah yang terjadi pada Tarno dan Sum. Terjadi tanpa bisa diminta pun diabaikan


            Bersama waktu yang menapak riang, di dalam buaian cinta dan kehangatan Tarno, Sum kian yakin pada Tarno. Dia sangat berharap bisa dipersunting Tarno, terlepas siapa dan bagaimana kondisi si lelaki pujaan hati.


Sum mengabaikan level pendidikan Tarno yang jauh di bawahnya. Sum tak menggubris kemiskinan Tarno. Yang Sum tahu, sejak perkenalan mereka dan pelajaran yang didapat dari waktu yang genit, Tarno adalah sosok bertanggung jawab, mampu melindungi, tak pernah lelah berusaha, juga piawai ngemong dengan sabar. Sangat pas sebagai kepala rumah tangga idaman. Itu cukup meyakinkan Sum untuk memilih Tarno sebagai bapak dari anak-anaknya kelak.


            Budaya membuat Sum dan Tarno harus menikmati romantika dengan sembunyi-sembunyi. Setiap sore, seusai tugas Tarno di dapur tempe selesai, Sum selalu menemuinya di pematang sawah milik pamannya, jauh terpencil di tepi hutan jati sebelah timur desa. Itu adalah satu-satunya tempat paling aman bagi mereka menikmati indahnya romansa kasih, tanpa takut ketahuan Setro si raja tempe.


            Sebab, mereka sadar, apa yang mereka lakukan itu terlarang. Jika Setro tahu, bisa saja timbul bencana. Di sela pertemuan-pertemuan tersembunyi itu, Sum dan Tarno terus berusaha mencari segala kemungkinan yang bisa menyatukan mereka secara terang-terangan, di tengah situasi yang jelas-jelas menolak percintaan mereka. Situasi yang pelik, tentu saja.


 


***


 


KETIKA Sum sedang berpikir keras untuk mencari cara agar Tarno yang “rendah” itu bisa diterima Setro sebagai mantu, di saat bersamaan sang juragan ternyata punya rencana lain yang bertentangan. Setro ternyata telah merancang skenario cinta yang harus dilakoni anak semata wayangnya. Tentu saja, rancangan itu berkaitan dengan tempe dan ambisinya.


            Di luar pengetahuan Sum, Setro mengikat perjanjian bawah tangan dengan Darmono; carik baru yang muda, ganteng, lulusan sebuah universitas di Surabaya, dan punya relasi perdagangan yang luas. Sosok yang dibutuhkan Setro untuk mengejar ambisinya.


            Apalagi keduanya ternyata punya dua keinginan yang sangat mungkin disatukan. Setro ingin berekspansi ke luar Jawa dan butuh bantuan Darmono –yang punya jalur ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali, melalui teman kuliahnya di Surabaya dulu, sementara si carik ingin melengkapi kebanggaannya sebagai “pria desa yang nyaris sempurna”; punya istri kembang desa, dan itu tak lain tak bukan adalah Sum, anak Setro satu-satunya.


            Terang-terangan Darmono mengajak Setro bernegosiasi. Dia bersedia membantu ekspansif Setro, tapi dengan syarat. Di depan sang juragan, Darmono mengatakan tak ingin hubungan mereka sebatas rekan kerja. Tentunya dengan bahasanya yang tepelajar dan berbelit agar terkesan indah dan sopan.


Agar lebih intim dan suasana kerjasama lebih nyaman dan guyub, Darmono berpendapat terang-terangan, sebaiknya Setro mengambilnya jadi mantu. “Biar itung-itungannya lebih enak,” dalih Darmono dalam pertemuan empat mata dengan “sang calon mertua”.


            KS yang kadung buta oleh ambisi ekspansi tempe paham maksud Darmono. “Itu bisa diatur,” janji Setro.


 


***


 


“NDAK mau, Pak. Aku kan ndak kenal sama Mas Darmono. Kok disuruh kawin sama dia,” reaksi spontan Sum menanggapi perintah bapaknya yang mendadak menyuruhnya menerima lamaran si carik.


            “Darmono itu kurang apa, Nduk? Dia pinter, lulusan kuliah di Surabaya. Bapaknya wong sugih, Nduk. Dia punya jabatan carik. Jaringannya luas. Kurang opo?” Setro terus mendesak-desak anaknya.


            “Pokoknya ndak mau. Ndak mau!”


            “Nduk, kamu pikir. Kalau dia jadi suami kamu, dia akan membantu bapak mengembangkan usaha tempe keluarga kita sampai ke luar pulau. Apa kamu ndak mau usaha bapak jadi guedhe? Nanti kan juga kamu sendiri yang merasakan manfaatnya. Sebagai satu-satunya anak bapak, pasti kamu yang nantinya mewarisi usaha ini. Masak kamu ndak mau?” Setro berusaha merayu.


            “Mboten, Pak, mboten…” S bersikukuh.


            “Kamu itu kenapa to? Berani kamu membantah bapakmu? Kamu mulai berani kurang ajar yo???” Rayuan Setro menjadi intimidasi kala pitamnya mulai naik.


            “Aku ndak mau menikah tanpa cinta, Pak. Aku ndak cinta sama Mas Darmono. Aku cuma cinta sama Mas Tarno,” saking emosinya, Sum kelepasan. Rahasia terlarang paling besar dalam hidupnya terbuka langsung di hadapan si Bapak.


            “Tarno? Tarno buruh tempe kita itu? Kamu seneng-senengan sama dia?” Setro terbelalak. Mendadak dia merasa kehormatannya runtuh, ditelikung upaya main belakang anak semata wayangnya yang ayu. Status juragannya tiba-tiba seakan melompong.


            Sum diam-galau karena keceplosan. Tapi terlanjur. Kata-kata tak bisa ditarik lagi.


            Dalam takutnya, pelan-pelan Sum mengangguk. Dalam anggukannya itu, ada sedikit harapan Setro bersedia menerima pilihannya. Meski harapan itu sangat tipis.


            “Maafkan Sum, Pak. Sum betul-betul cinta sama Mas Tarno. Sum tidak mau nikah dengan orang lain, termasuk Mas Darmono,” S coba menghiba.


            Tapi, reaksi Setro membuat Sum harus sadar bahwa dalam tawar menawar itu mustahil dia bisa menang.


            “Sontoloyo! Cinta, cinta. Cinta model opo??? Ndak. Kamu itu anaknya juragan tempe paling terhormat di Bale! Masak gandeng-gandengan sama buruh miskin yang masa depannya ndak jelas itu. Ndak bisa! Pokoke kamu harus menikah sama Darmono, secepatnya! Ini demi masa depan dan kehormatan keluarga kita!”dalam emosinya Setro menjatuhkan vonis yang tak boleh dikasasi.


            Sum hanya bisa mengeluarkan senjata sekaligus hak istimewa kaum wanita; menangis. Hanya itu yang dia bisa.


 


***


 


Sejak pengakuan Sum, mendadak Tarno menjadi semacam momok dalam hidup Setro. Menjadi sosok yang sangat mengganggu, yang wajib ditendang jauh-jauh.


Agar skenario perjodohan Sum dan Darmono tak menjumpai halangan, Setro menyusun rencana biadab. Demi tempenya.


Pada suatu petang selepas Magrib, dia perintahkan centengnya menyingkirkan Tarno sejauh-jauhnya, dengan cara apapun. Kalau perlu dibunuh, mayatnya dipendam di tengah hutan jati timur desa.


Soal urusan dengan Joyo, Bapak Tarno, menurut Setro, itu mudah dan akan diurusnya. Ego juragannya selalu menyepelekan urusan dengan kaum papa.


            Dan Sum, kebetulan mendengar rencana Setro untuk memisahkannya dengan Tarno untuk selamanya dengan cara yang tak berani dia bayangkan itu. Panik dia minta ampun.


            Malam setelah Setro memerintahkan centengnya, Sum diam-diam nekat keluar kamar, melompat dari jendela. Tujuannya jelas untuk menyelamatkan Tarno.


            Di bawah sinar ublik samping rumah T yang ditumbuhi pohon pisang, Sum dan Tarno berbisik.


            “Masak to Dik?” T tidak percaya ketika mendengar niat Setro yang ingin menyingkirkannya seperti binatang itu.


            “Iyo Mas. Sampeyan harus pergi menyelamatkan diri. Saya ndak mau sampeyan kenapa-kenapa.”


            T bingung.


            “Tapi, itu artinya kita harus pisah Dik?” Ada kecewa yang tak bisa disembunyikan Tarno.


            “Hanya sementara Mas. Yang penting sampean selamat dulu. Aku mau coba minta bantuan paman-pamanku untuk membujuk Bapak agar mengurungkan niatnya. Nanti setelah semuanya kembali baik-baik saja, sampean kembali ke sini menjemput aku.” Sum coba menyuntikkan semangat pada Tarno, dengan tawaran harapan yang begitu indah dibayangkan.


            Tarno tercenung. “Bapakmu benci aku karena aku melarat ya?” pertanyaan ngenes itu akhirnya terlontar dari mulut Tarno. Ragu dan rikuh, Sum mengangguk kikuk.


            Tarno menerawang. Mengela napas.


            “Sudah, begini saja. Aku pergi. Tapi bukan cuma minggat. Tapi aku akan merantau dan berusaha biar tidak miskin lagi. Aku punya saudara jauh di Jakarta. Di sana banyak kerjaan. Aku coba merantau ke sana. Aku masih punya sedikit tabungan untuk sangu. Kalau aku sudah sukses, aku jemput kamu. Kamu mau nunggu aku to Dik?”


            Di tengah amuk cintanya yang pahit, Sum mengangguk.


            Berpisahlah mereka. Malam itu juga Tarno pamit pada bapaknya hendak merantau ke Jakarta. Pemberitahuan mendadak yang tentunya membuat si bapak bingung. Tapi, ketika Tarno menyuguhkan alasan ingin kehidupan yang lebih baik, Joyo bisa meniyakan, dan melepas kepergian si anak lanang dengan doa dan harapan.


Ditemani gelap desa dan lampu obor, malam itu juga Tarno berangkat ke kota. Tujuannya stasiun, dan dia bermalam di situ. Paginya dia naik kereta ke Jakarta. Sebelum pergi, Tarno meninggalkan janji pada Sum, bahwa dia akan belajar menulis surat dan melayangkan kabar secara rutin untuk Sum sebagai penaut rindu yang dipenggal oleh jarak dan ruang.


 


***


 


SETELAH malam itu, penantian Sum pun dimulai. Sum sengaja tak menceritakan agenda bapaknya menjodohkan dia dengan Darmono. Sum takut, kalau Tarno tahu itu, sang kangmas akan hancur dan tak akan pernah kembali.


Dan tentu saja, kembalinya Tarno adalah hal yang paling dia harap dalam hidupnya yang sedang dipeluk cinta saat itu. Si kembang desa sangat berharap Sang Arjuna menjemputnya suatu saat kelak. Harapan untuk itu teramat besar.



 image



***


 


SEMINGGU setelah Tarno pergi, Joyo, ayahnya meninggal dunia gara-gara ngenes ditekan habis-habisan oleh centeng Setro. Joyo diintimasi habis-habisan, bahkan dianiaya, lantaran disangka sengaja menyembunyikan Tarno. Menurut kabar dari mulut ke mulut, Joyo yang ringkih itu meninggal gara-gara organ dalam tubuhnya remek gara-gara sering dipermak oleh centeng-centeng Juragan Setro.


Padahal, sebelum digebuki, Joyo yang tidak tahu duduk perkara kenapa dia diintimidasi lahir batin itu, sudah mengatakan yang dia tahu apa adanya, bahwa Tarno pergi merantau, tak tahu kapan pulang.


Sayangnya, suara wong melarat seperti Joyo tak pernah digubris, alih-alih dipercaya, oleh keangkuhan sosok juragan dalam diri Setro.


            Sementara Tarno sendiri tidak pernah tahu peristiwa itu, karena tidak ada yang mengirimnya kabar. Tak satu pun orang di Desa Bale tahu, ada di mana Tarno. Tentunya kecuali Joyo yang sudah tak bernyawa, dan Sum sendiri.


 


***


 


SELEPAS Tarno merantau, Sum mulai operasinya untuk menggagalkan perjodohannya. Dia minta bantuan paman-pamannya, yang sebagian besar memang tak suka dengan keangkuhan Setro, supaya perjodohannya diurungkan.


            Tapi, ambisi KS sudah teramat kuat. Sekuat batu granit. Upaya lobi Sum gagal, perjodohan tetap dilangsungkan.


Pada akhirnya, yang bisa dilakukan paman-paman Sum hanya memfasilitasi cinta jarak jauh Tarno dan Sum; menjadi perantara surasurat yang dikirim Tarno.


 


***


 


LALU, pernikahan tempe antara Sum dan Darmono pun berlangsung. Sangat meriah. Resepsi itu jadi ajang unjuk kemapanan yang angkuh dalam kekuasaan Setro si raja tempe. Lebih-lebih Sum anak satu-satunya. Cuma sekali punya gawe mantu, Setro menggebernya semegah mungkin, cenderung edan-edanan.


Sepuluh ekor sapi tergemuk dan 30 kambing paling super dijagal untuk sajian mewah di meja hidangan. Wayang kulit digeber tiga hari tiga malam nonstop. Pejabat desa, kecamatan, bahkan pejabat kabupaten diundang untuk berpesta pora bersama iringan ronggeng-ronggeng bahenol kelas wahid.


            Tapi, kemegahan resepsi Sum dan Darmono itu tampak janggal. Sepanjang acara yang harusnya penuh tawa itu, air mata tak berhenti menetes di pipi Sum. Ada sakit yang teramat sangat dalam sebuah upaya pertukaran antara cinta dan ambisi tempe Setro.


Setro menjual cinta anaknya demi tempe-tempenya. Tamu yang tak sengaja mendapati linangan di pipi Sum bertanya-tanya; tapi pertanyaan itu tak pernah berani mereka lontarkan. Pertanyaan massif yang tak pernah mendapat jawaban.


Air mata Sum di tengah kemeriahan pesta pernikahannya menjadi misteri yang hanya dia sendiri tahu.


Setelah pesta, hari-hari rumah tangga Darmono dan Sum adalah masa-masa palsu. Sum tak pernah membiarkan suaminya itu menjamahnya. Dia selalu acuh, dan berontak saat Darmono memaksanya untuk memenuhi hak suami istri sah; bersetubuh.


            Antipasti Sum tentu memancing kemarahan Darmono. Sebagai suami, dia merasa disepelekan istri yang kurang ajar. Karena segala upayanya untuk berhubungan badan dengan Sum selalu mentah, Darmono mengadu ke Setro soal libidonya yang ditahan paksa, layaknya bocah kecil minta mainan ke bapaknya.


Bersama aduannya itu, Darmono melampirkan ancaman; kalau Sum tetap tidak mau melayani birahinya, Darmono tidak akan pernah membantu Setro mengekspansikan tempenya.


Ah, tolol, seorang pria yang punya kedudukan istimewa dan terpelajar, minta bantuan mertuanya agar bisa menyetubuhi istrinya.


            Walhasil, mau tak mau Setro harus turun tangan agar ambisinya tak tersandung-sandung, apalagi batunya adalah anak sendiri. Setelah Setro turun tangan dengan ciri khas intimidasinya, Sum pun terpaksa melayani suaminya.


Sebelum “malam pertama” mereka –yang berlangsung beberapa minggu setelah resepsi– S mengecam Darmono; “Sampeyan boleh menikmati tubuhku, tapi tidak akan bisa punya hatiku.”


            Tapi Darmono tak peduli ultimatum itu. Dia tetap menyetubuhi istrinya seperti binatang, yang lama menahan libidonya. Selama persetubuhan, tak putus-putus Sum menyebut nama Tarno. Tapi elu-elu Sum itu tak mengganggu “kenyamanan” Darmono yang sedang menikmati kebuasan birahinya.


            Setelah puas malam itu, hingga beberapa kali ejakulasi, Darmono mulai menepati janjinya. Dia mulai membuka jalur perdagangan dengan Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi, sesuai dengan “mas kawin” yang dia janjikan pada Setro.


            Imperium tempe Setro pun mulai menggurita. Tentakel-tentakel tempenya menyebar ke seantero negeri. Kebanggaan yang dia dapat setelah menjual jiwa-raga dan memperkosa cinta anak semata wayangnya.


 


***


 


WAKTU merangkak begitu malas, itulah yang dirasakan Sum dengan status istri cariknya. Dua tahun dia menikmati kesepian sembari berharap datang kabar dari sang terkasih yang nun jauh di Jakarta sana. Sejak perpisahan malam itu, hingga 24 bulan lamanya, Tarno belum pernah sekalipun berkirim kabar, seperti yang pernah dia janjikan ketika dia dan Sum hendak berpisah.


Tarno seolah musnah begitu saja.  Tapi Sum tetap merawat keyakinannya, bahwa Tarno pasti akan melayangkan sepucuk surat pelebur rindu untuknya.


Hingga akhirnya, penantian Sum mendapat jawab menggembirakan ketika perpisahan masuk di bulan ke 25. Yang ditunggu-tunggu tiba; sepucuk kabar dari Tarno, yang dialamatkan ke paman Sum. Selembar kertas kusut berisi tulisan tangan Tarno yang tak kalah kusut itu itu sampai di tangan Sum secara sembunyi-sembunyi.


            Perlahan-lahan Sum buka surat kumal itu. Bersama rindu yang mengaduk-aduk kalbunya, pandangan Sum mulai menyusuri satu persatu rangkaian kata dari Tarno-nya.


 


 “Assalamualaikum.


            Bagaimana kabar Dik S? Semoga baik-baik saja. Mohon maaf sekiranya kalau aku baru sempat berkirim kabar. Mas Tarno harus belajar menulis surat dulu, karena tidak tahu caranya. Lama Mas baru bisa. Baru Mas kirim surat ini.


            Kehidupan di Jakarta sini keras Dik. Pas datang aku bingung cari kerjaan. Saudaraku ternyata tidak bisa banyak membantu. Selain masih belajar menulis surat, Mas sengaja ndak kirim surat ke kamu sampai benar-benar ada kabar gembira.


            Sekarang Mas sudah mulai enak Dik. Mas sudah jadi pembantu mandor membangun gedung di Jakarta. Gajiku lumayan. Alhamdulillah Mas juga sudah bisa nabung. Insyaallah akhir tahun ini aku pulang untuk menjemput kamu. Aku ndak lupa sama janjiku. Terima kasih kalau kamu masih mau menunggu aku. Salam kangen. T”.


            Asa Sum untuk kembali bertemu cintanya tumbuh lagi. Ternyata waktu penantian 25 bulan itu tidaklah sia-sia. Bunganya yang nyaris layu tersiram lagi. Segar kembali.


 


Ada kelegaan layaknya Sum baru saja menemukan oasis di tengah gurun pasir yang maha-luas, ketika huruf terakhir dalam kertas itu selesai dibacanya. Pertemuan jiwa yang lama Sum dambakan.


            Tapi, di antara kisi-kisi dahaga yang baru saja lepas itu, ada sejumput sesal yang akan menjadi rahasia Sum, dan hanya dibagi dengan dirinya sendiri sampai kapan pun.      Sum diam-diam merasa berdosa karena tidak bisa mempersembahkan mahkota terhormatnya pada Tarno, karena telah diambil paksa oleh Darmono yang dibantu Bapaknya, kendati dia sudah berusaha keras untuk mempertahankan dan mempersembahkannya pada sang kangmas.


 “Maaf, Mas. Aku salah, aku minta maaf. Tapi, biar kamu bukan yang pertama di malam kita nanti, cintaku tetap buat kamu Mas. Tubuhku boleh kotor, tapi tidak hatiku. Aku bisa menjamin kesuciannya.”  


            Hanya itu yang bisa dibatin S.


 


***


 


WAKTU melenggang sembari mengejek rumah tangga Darmono dan Sum yang kian keruh. Darmono makin dingin dan acuh. Itu karena Sum tak juga memberinya anak.


Dia menilai Sum perempuan cacat.  Perempuan yang tak lengkap. Karena Sum dipastikannya mandul.


            Darmono tak pernah tahu, bahwa situasi itu memang disengaja oleh Sum. Dua kali Sum sengaja berbuat dosa. Dua kali dia bunuh janin dari Darmono dalam kandungannya. Tak peduli nanti kandungannya bisa rusak dan dia benar-benar tak akan bisa punya anak.


            Yang Sum mau, ketika Tarno pulang nanti, pujaan hati tak akan pernah mendapatinya menggendong anak yang bukan buah cinta mereka. Itu akan menghancurkan indahnya pertemuan yang dua tahun lebih terpenggal itu.


            Tiga bulan jelang akhir tahun –menjelang datangnya waktu kepulangan yang dijanjikan Tarno dari Jakarta— terjadilah momen sangat dinantikan Sum; Darmono menuntutnya cerai dengan dalih Sum tidak bisa memberinya anak.


            Memang, mandul, tapi mandul yang disengaja, tentunya. Kesengajaan Sum yang tak pernah diketahui Darmono.


            Akhirnya Sum lepas dari penjara cinta tempe bapaknya.


Tapi perpisahannya dengan Darmono itu tak memengaruhi ekspansi bisnis tempe Setro, yang sudah kadung menyebar dan mengakar di mana-mana.


Darmono mencari istri lagi yang bisa memberinya anak, sementara Sum siap menyambut Tarno yang akan kembali pulang, dengan riang melayang-layang.


 


***


 


DUA minggu jelang pertukaran angka tahun Masehi, kembali tiba sepucuk surat dari Jakarta. Isinya singkat;


 


“Aku datang dengan kereta, masuk stasiun kota jam 3 sore. Paling-paling terlambat sejam. Aku berhasil Dik. Bapakmu tak akan lagi menolak aku. Tunggu aku. T”.


           


Ah, waktu itu akhirnya benar-benar datang… Sum bersenandung…


            Sementara Setro yang berhasil meraih ambisinya membangun kerajaan tempe, acuh pada Sum. Anaknya mau apa saja, Setro tak peduli. Karena yang ada dalam pikirannya hanya tempe dan kebanggan sebagai orang yang disegani.


            Bahkan ketika Sum coba-coba memberitahukan kondisi Tarno yang sudah mulai mapan, dan bilang cintanya yang pulang dari perantuan sebagai orang sukses itu ingin menikahinya, Setro menjawab datar; “Terserah”.


Lalu dia kembali pada ilusi tentang kemegahan tempenya.


 


***


 


ANGIN beralun merdu ketika sore yang dijanjikan Tarno hendak tiba.


            Di hari yang dijanjikan itu, sejak pukul 12 siang Sum bersolek. Hingga tengah hari, bahkan sudah tiga kali dia mandi.


            Dia kenakan pakaian terbaiknya.


qDia poles wajah secantik-cantiknya. Sum Ingin Tarno melihatnya dalam keadaan paling sempurna, setelah puasa bertemu selama tiga tahun. S  ingin menyajikan pemandangan terindah pada T, ketika Kangmasnya itu turun dari kereta.


            Pukul 3 sore telah hadir. Sum yang sudah duduk manis di ruang tunggu stasiun sejak satu jam sebelumnya, terlihat kikuk lantaran degup-degup senangnya tiba-tiba melonjak-lonjak lepas.


            Lalu, pukul tiga sudah lewat beberapa saat. Kereta yang ditunggu belum juga tampak. Kata penjaga stasiun terlambat. Sum kembali coba bersabar, masih dengan dentum senangnya.


            Setelah sejam molor dari jadwal, kereta yang digambarkan Tarno dalam suratnya muncul.


Berdentum-dentum dada Sum kian berdebum. Rindunya mengemas rapi rindu yang penasaran; bagaimana Mas Tarno setelah tiga tahun merantau? Masihkah dia si penyabar, pekerja keras yang dikenal dan dicintanya itu?


            Kereta berhenti. Satu persatu penumpang turun.


            Sum menatap lekat-lekat setiap pintu keluar di tiap gerbong. Yang ditunggu-tunggu tak muncul juga. Pun juga tak tampak di antara kerumunan penumpang.


            Degup Sum makin mendentum, tapi kali ini membawa irama kebingungan. “Aduh, Mas Tarno, kenapa kau tak juga tampak?” batin Sum.


            Seluruh penumpang tujuan Kota M sudah turun. Kereta kembali melaju. Bahkan hingga stasiun mulai kembali sepi, Tarno masih belum tampak.


            Ke mana Mas Tarno? Kenapa dia tak ada? Apa ketiduran, lalu terangkut kebablasan sampai kota berikutnya?


            Sum coba memastikan isi surat dari Tarno yang sengaja dia bawa itu. Dia tidak salah. Surat itu menyebutkan dengan jelas waktu dan kereta apa yang akan membawa Tarno pulang, yaitu saat itu.


            Tapi kenapa Tarno tidak ada? Apa dia ingkar? “Ah, tidak mungkin Mas Tarno bohong,” Sum mencoba meyakinkan diri. Dan dia memilih yakin.


            Dalam harapan dan angan baiknya, Sum berpikir, mungkin Tarno tak kebagian karcis kereta hari itu, dan pulang di hari berikutnya. Dan untuk berkirim kabar soal itu melalui surat tidak mungkin, karena di awal tahun 1960-an itu tak mungkin surat bisa tiba dalam sehari.


            Sum yakin Tarno kehabisan karcis. Karena dia yakin Tarno tak akan ingkar janji.


            Dengan riang-riang mengambang sambil berharap besok Tarno benar-benar datang, Sum melangkah pulang.


 


***


 


SEHARI selepas hari yang dijanjikan lepas begitu saja.


            Sum kembali lagi ke stasiun di jam yang sama. Tujuannya sama; menunggu kereta yang membawa Tarno. Pukul 2 siang dia sudah duduk manis di salah satu bangku tunggu, menunggu kereta jam 3 sore.


            Tapi…. Hari itu sama saja yang didapatnya; Tarno tetap tak pernah turun dari kereta yang datang jam 3 itu. Untuk kedua kalinya Sum harus menerima kecewa.          


            Dan dia terus memelihara keyakinan juga harapannya pada cinta yang akan menjemputnya, dengan berpikir; Mas Tarno pasti datang besok, pasti besok, pasti besok, dan seterusnya. Sembari rutin menanti kereta, Sum juga terus berharap ada surat yang datang dari Jakarta, yang memberitahunya keadaan Tarno sebenarnya.


            Tapi, tak sepucuk pun kabar tiba. Dan kereta-kereta yang datang jam 3 sore itu tetap tak membawa Tarno di dalamnya.


            Harapan yang begitu besar membuat Sum memilih untuk terus bersabar dan yakin Tarno bakal pulang dengan kereta pukul 3, pada suatu hari yang indah.


            Demi harapan itu, datang ke stasiun pun menjadi kegiatan rutin yang dilakoni Sum. Setiap hari pukul 2 siang dia selalu datang ke stasiun Kota, hanya untuk menunggu Tarno pulang dengan kereta pukul 3 sore. Kadang dia datang sendiri, kadang ada kerabat yang iba menemaninya.


            Seiring harapan kepada besok, waktu mulai merangkak, berjalan, berlari, lalu melesat bersama harapan Sum yang tak kunjung terjawab.


           


***


 


TANPA terasa oleh Sum yang senantiasa disibukkan oleh harapannya, guliran masa memasuki bilangan 40 tahun. Sepanjang rentang itu, Sum masih menjaga agar keyakinannya terhadap janji Tarno tetap Hidup. Dia tetap menunggu Tarno bersama cintanya.


Namun, tetap saja, yang dinanti tak pernah tiba.


            Peringatan keluarga yang ingin dia menghentikan rutinitasnya, dan belajar menerima kenyataan bahwa Tarno tak akan pernah datang seperti yang dijanjikan pada Sum, tak digubrisnya. Sum masih yakin Tarno akan datang.


            Bahkan ketika Setro dibawa pergi dari dunia oleh usianya yang renta dan meninggalkan kerajaan tempenya, Sum mengabaikannya. Estafet dinasti tempe Kasan Setro diteruskan oleh salah satu keponakan Sum. Wanita yang menanti itu lebih menginginkan Tarno daripada kerajaan tempenya.


            Sampai pada suatu hari, seorang petugas peron yang dibuat heran dengan kehadiran rutin Sum di stasiun, mencoba mencari tahu apa yang dicari Sum; yang kala itu sudah mulai menua itu. “Bu, sebenarnya ibu mau ke mana? Setiap hari ke stasiun tapi tak pernah naik kereta?” tanya petugas peron.


            Dan Sum pun menjawab apa adanya; “Saya menunggu Mas Tarno. Dia Jani pulang naik kereta jam 3 sore.”


            Ketika si petugas hendak menanyakan lebih jauh, atau sekadar berniat membantu memastikan benar tidaknya kereta yang ditunggu, salah satu saudara Sum yang menemaninya buru-buru meletakkan telunjuk di depan mulut dan hidung; isyarat agar si petugas tak melanjutkan pertanyaannya. Hanya agar ketenangan harapan Sum tak terusik.


            Sampai kulit wajahnya mengeriput, di usianya yang berkepala enam tahun 2006 lalu, Sum masih setia dan rutin datang ke stasiun Kota M, menunggu Mas Tarno-nya pulang. Raganya memang menua, tapi harapannya tak pernah renta.


            Dia masih dan selalu memelihara keyakinannya, bahwa cintanya tidak akan mengingkari janji. Dia yakin Tarno pulang untuknya, menetapi janjinya 40 tahun lalu.


 


***


 


CERITA dari Jakarta:


Sehari sebelum pulang, Jakarta diguyur hujan deras. Ketika itu Tarno mengawasi pekerja bangunan yang mengerjakan sebuah gedung berlantai delapan. Dia sengaja lembur biar bisa pulang dengan tenang dan menjemput cintanya. Di saku celana kirinya tersimpan rapi sepasang cincin kawin yang sengaja akan dia persembahkan sebagai hadiah kepulangannya untuk yang tercinta.


            Dia di lantai paling atas, dengan ketinggian sekitar 30 meter. Celaka selalu datang tiba-tiba tanpa diminta. Tarno yang telalu lelah karena memaksa lembur di bawah hujan, lengah. Dia terpeleset, tubuhnya terhempas dari lantai delapan. Kepalanya remuk, dia tewas seketika.


            Rekan-rekannya bingung. Tak ada satu pun yang tahu ke mana harus berkirim kabar. Tarno tak pernah meninggalkan alamat asalnya. Dia hanya mengaku datang dari sebuah desa di Kabupaten M yang luas itu. Sementara saudara jauh yang jadi jujugannya ketika pertama kali datang ke Jakarta, juga sudah hilang entah ke mana.


 


***


 


KABAR itu baru sampai di Desa Bale setelah dibawa oleh seorang kerabat jauh Tarno. Dan kebenaran itu baru diketahui setelah 10 tahun Sum menunggu bersama harapannya yang sia-sia di stasiun kota.


            Kabar yang tak pernah sampai ke telinga Sum; yang setia memelihara keyakinan dan harapannya  di ujung senjanya. (*)



image 


No comments:

Post a Comment