Thursday, November 19, 2009

Dongeng Sebelum Tidur


Mbah Minah dari Banyumas


Perempuan lanjut itu akrab dipanggil Mbah Minah. Umurnya 65 tahun. Dia tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Entah mimpi apa perempuan ini sampai dia harus “meringkuk” sebagai tahanan rumah karena memungut 3 buah kakao yang jatuh di pekarangan perkebunan tak jauh dari rumahnya. Dia dituduh maling dan kena jerat pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.

Suatu hari ketika sedang berjalan santai, tanpa sengaja Mbah Minah melihat tiga buah kakao yang mulai membusuk jatuh tergeletak di pekarangan sebuah perkebunan kakao tak jauh dari kediamannya. Mungkin dia merasa sayang, maka dia pungut buah itu. Apes, di saat bersamaan, mandor kebun kakao melihatnya dia memungut kakao yang “seharusnya” jadi hak perkebunan. Telunjuk si mandor menuding ke Mbah Minah, “Kau maling.”

Peristiwa itu berlanjut jadi laporan polisi. Mbah Minah jadi tersangka pencurian. Berkasnya mulus di kantor polisi dan meluncur begitu saja ke Kejaksaan Negeri Banyumas. Dan, akhirnya Mbah Minah jadi tahanan rumah, hanya karena memungut kakao yang tergeletak di tanah.

Subagyo dari Depok


Selasa, 17 November sore, anggota Buser Polsek Limo menggerebek sebuah arena perjudian di sebuah kontrakan di Pangkalan 25, jalan Raya Limo RT 06/RW 01, Limo, Depok. Ada Subagyo dan tiga temannya sedang asyik main judi kecil-kecilan.

Subagyo kaget bukan kepalang. Karena di tengah keasyikannya mengisi waktu, tiba-tiba menyeruak para pemberantas maksiat bernama korps baju cokelat. Subagyo, seperti kebanyakan orang kecil lain yang awam hukum, pun kalut dan berusaha kabur. Polisi yang nyaris kehilangan buruan kalap: dor, dor, dor! Bedil menyalak tiga kali. Tiga timah panas bersarang di tubuh sopir angkot itu.

Menurut versi Polsek Limo, Subagyo telah diberi tiga kali tembakan peringatan tapi nekat ngacir. Sedangkan menurut istri Subagyo, yang ada tak jauh dari tempat suaminya terbunuh, tembakan langsung diarahkan ke tubuh bapak satu anak itu, begitu saja.

Aguswandi dari Jakarta

Aguswandi butuh berkomunikasi. Sayang, ponselnya bungkam tanpa baterai. Mau mengisi ulang di flatnya, di apartemen di ITC Roxy Mas, Jakarta, tak ada colokan listrik. Lalu dia keluar flat mencari colokan, masih di sekitar apartemen. Dia tancapkan saja charger ponsel begitu saja, persis di samping flatnya.

Tapi siapa sangka, karena upayanya mengisi ulang baterai ponsel, 8 September lalu, malah mendudukkannya sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, 16 November 2009. Dia dijerat pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan oleh polisi karena nyolong listrik untuk nge-charge ponsel.

Saprudin dan Mulyadi dari Banten

Seberapa berat 10 kilogram bawang merah? Ah, biasa saja. Apalagi untuk kuli panggul seperti Saprudin dan Mulyadi, keduanya dari Kampung Lebak Jati, Kelurahan Unyur, Serang, Banten, yang sudah biasa mengangkut yang lebih berbobot.

Tapi hari Kamis, 5 Juli 2007, 10 kilogram bawang itu ternyata sangat berat untuk mereka berdua. Saprudin dan Mulyadi, dijatuhi hukuman delapan bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Serang karena mencuri bawang.

Mereka dituduh membawa kabur 10 kilogram bawang merah yang tergeletak begitu saja di samping lapak seorang pedagang sayuran Pasar Induk Rau, Lebak, pada 20 Maret 2007 di Pasar Induk Rau, Lebak. Mereka mencuri ketika si empunya bawang sedang sibuk melayani pembeli.

Di hadapan hakim mereka mengaku menyesal. Tapi apa guna, palu sudah terketuk. Di samping kurungan, mereka juga harus menanggung ongkos perkara sebesar Rp 1.000.

Sementara...

Di bagian lain Indonesia, masih banyak orang yang lebih ”beruntung” dari Mbah Minah, Subagyo, Aguswandi mau pun Saprudin dan Mulyadi. Edi Tansil, Anggodo Widjojo, Anggoro Widjojo, dan Djoko Tjandra, yang seharusnya juga kudu berhadapan dengan aparat, masih bebas kelayapan di bawah udara bebas.

Jauh-jauh hari Franz Kafka telah meramalkan nasib Mbah Minah, Subagyo, Aguswandi mau pun Saprudin dan Mulyadi itu dalam ”Before the Law”. Betapa si penjaga pintu hukum berkata dengan pongahnya, bahwa pintu yang dia jaga memang hanya dibuat untuk orang-orang seperti mereka...

Wednesday, November 18, 2009

Apakah Pak Kiai Takut Kiamat?



Cermati berita keputusan MUI Kabupaten Malang ini:


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengharamkan film 2012 karena dampak isi cerita film tersebut akan membuat masyarakat resah terkait tibanya hari kiamat pada 2012 (1). MUI Kabupaten Malang juga mengimbau umat Islam untuk tidak menonton film tersebut apalagi mempercayai isinya.

Ketua MUI Kabupaten Malang, KH Mahmud Zubaidi, kemarin, mengatakan, sebagai orang Islam memang harus mempercayai adanya hari kiamat. Namun, untuk penggambaran secara nyata dan kepastian terjadinya, merupakan kuasa dari Yang Maha Kuasa (2).

”Mengenai kapan terjadinya hari kiamat merupakan kuasa dari Sang Pencipta. Jadi kita tidak boleh menentukan hari ataupun tahunnya. Jika hal itu terjadi maka bisa dikatakan menyesatkan (3),” kata dia.

Ia menyayangkan, penayangan film yang berjudul 2012 dan menceritakan hari kiamat dengan penggambaran secara nyata yang kini banyak diputar di bioskop. Menurut dia, pengharaman MUI Malang ini merupakan respons terhadap isi cerita film tersebut yang terlalu jauh menceritakan waktu datangnya kiamat pada 2012. ”Film 2012 tidak pantas untuk ditayangkan sebab bisa memengaruhi pemikiran orang. Ini menyesatkan,” kata dia.

Mereka akan cenderung percaya bahwa hari kiamat benar datang pada 2012. Inilah efek negatif dari film tersebut (4),”kata dia.

Kita bahas poin per poin pernyataan Pak Ketua MUI:

(1) Dampak isi cerita film tersebut akan membuat masyarakat resah terkait tibanya hari kiamat pada 2012 :

Apakah sudah ada riset sahih yang membuktikan telah terjadi kecemasan masif dampak dari isi film tersebut? Kalau belum ada, itu artinya cuma klaim. Dan ketika sebuah keputusan lahir hanya karena klaim, itu idem dito dengan arbitrer, semena-mena, menjustifikasi tanpa ada bukti.

Karena, ketika melihat film dalam konteks keilmuan komunikasi, di mana ada pesan yang disampaikan dalam film itu, Pak Ketua MUI masih berpatokan pada teori lawas, alias teori peluru. Di mana publik, dalam hal ini penikmat film, adalah kumpulan manusia yang pasif, tak punya posisi tawar terhadap semua informasi yang mereka cerap sehingga lahirlah rasa takut. Itu juga sama artinya mengingkari kenyataan bahwa publik semakin cerdas dalam menerjemahkan informasi yang mereka terima.

Hakul yakin masyarakat pasti mahfum mana kenyataan, mana ilusi. Mana wahyu atau mana rekayasa. Pada akhirnya film itu cuma berhenti pada definisi sebagai hiburan semata, bukan sebuah wahyu yang harus diamini. Sekali lagi, Pak Kiai, masyarakat kita sudah semakin cerdas. Apalagi Pak Kiai juga belum nonton filmnya to?

(2) Penggambaran secara nyata dan kepastian terjadinya, merupakan kuasa dari Yang Maha Kuasa.


Kalau soal itu, Pak Kiai, ya saya juga mahfum. Soal kiamat memang hak preogratif Allah SWT. Alquran gamblang menjelaskan itu. Dan sebagai kitab suci, haram hukumnya umat Islam menyangkal atau mendahului kehendak Alquran.

Yang jadi permasalahan di sini adalah ketika mengartikan film ”2012” sebagai ”upaya untuk memberikan pemahaman pada publik bahwa kiamat BENAR-BENAR seperti yang digambarkan dalam film itu dan BENAR-BENAR terjadi pada 21 Desember 2012. “ Yakin, sutradara Roland Emmerich tak punya misi seperti itu. Dia hanyalah sineas seperti yang lain, yang berhak mengaktualisasikan imajinasinya dalam sebuah karya audio visual bernama film.

Dia juga tak mengklaim bahwa apa yang ada di dalam film itu adalah penggambaran kiamat yang sesungguhnya, seperti yang digambarkan dalam Alquran. Dan sejauh ini Emmerich tak pernah mengklaim diri sebagai nabi atau malaikat, seperti Lia Eden, yang mana apa yang disampaikannya harus diamini dan dipercayai oleh umat.

Mengenai tema yang yang dipilih, ya terserah dia. Kalaupun dia memilih ramalan bangsa Maya sebagai tema utama dalam film tentang kehancuran itu, yang dikaitkan dengan fenomena fisika jagat semesta alam ini, itu semata-mata demi memuaskan libido imajinasinya, bukan sebuah keniscayaan yang sudah pasti terjadi.

Karena, toh, soal kiamat 2012 itu kan belum jadi kebenaran yang sahih. Bentuk kiamat, seperti yang tertuang dalam Alquran, khususnya surat Az-Zilzal: 1-2, Al-Hajj: 1, Al-Waqi’ah: 4, Al-Muzammil: 14, Al-Insyiqaq: 4, Al-Haqqah: 14, Al-Fajr: 21, At-Takwir: 6, Al-Infithar: 3, Al-Kahfi: 47, An-Nahl: 88, Ath-Thur: 10, Al-Takwir; 2, Al-Ma’arij: 9, dan Al-Qari’ah: 5 juga sama sekali beda dengan apa yang ada di dalam film. Setidaknya begitu yang dikatakan Sekretaris Umum MUI Ikhwan Syam. Jadi, tidak ada persinggungan antara film ini dengan Alquran, Pak Kiai. Keduanya adalah entitas yang terpisah. Lagian si Emmerich juga bukan muslim yang baca Alquran kan?

Sekali lagi, kalau yang Pak Kiai khawatirkan itu adalah timbulnya keresahan umat, atau sesat dalam mempersepsikan kiamat dan melenceng dari yang dijelaskan Alquran, atau malah melanggar hak preogratif Allah, percaya lah Pak, itu tak akan terjadi.

Lagian, yang Panjenengan larang itu, Pak Kiai, dengan mengutip Alquran, adalah kiamat kubra, di mana semesta alam luluh lantak tak bersisa. Kalau Panjenengan nonton film ini, Pak Kiai, tak semuanya hancur. Masih ada yang selamat, ya si John Cussack si pemeran utamanya itu. Dia selamat dan memulai peradaban baru manusia di tanah Afrika. Berarti ini bukan kiamat kubra, tapi kiamat sugra tapi sangat dahsyat. Tolong bedakan konteksnya ya, Pak Kiai.

(3) Kita tidak boleh menentukan hari ataupun tahunnya. Jika hal itu terjadi maka bisa dikatakan menyesatkan.


Sekali lagi, Pak Kiai yang terhormat, bisakah bapak membedakan mana ilusi, karya seni atau kenyataan? Emmerich tak menentukan kiamat, karena, sekali lagi, yang berhak, seperti kata Pak Kiai, itu hanya Allah. Si sutradara hanya ingin memvisualisasikan imajinasinya tentang hari yang mahadahsyat itu dalam film, dan hukumnya tidak wajib untuk dipercayai. Lha wong namanya juga imajinasi.

Dan tolong, Pak Kiai, jangan larang manusia untuk berimajinasi. Karena dari imajinasi adalah buah dari akal budi dalam melahirkan karya. Dan itulah yang membedakan manusia dengan binatang.


(4) Mereka akan cenderung percaya bahwa hari kiamat benar datang pada 2012. Inilah efek negatif dari film tersebut.


Pak Kiai bilang efek negatif? Baiklah, Pak, coba kita bedah dari psikologi massa. Atau Bapak kelihatannya perlu membuka buku tentang Psikologi Komunikasi karyanya Jalalluddin Rakhmat. Masyarakat kita sekarang lebih cerdas memiliah mana yang kenyataan dan mana ilusi.

Oke, katakanlah pada akhirnya ada orang yang percaya kiamat datang tahun 2012 seperti yang digambarkan dalam film tersebut, yang tentunya itu tak lama lagi.

Bukankah justru karena ketakutan itu bisa saja kadar keimanan dan ketakwaan orang bakal makin tebal? Karena takut pada “kedahsyatan” kiamat, mereka berbondong-bondong minta perlindungan dari Yang Maha Kuasa agar terhindar dari hal-hal menyiksa seperti yang digambarkan dalam film itu.

Karena, dengan menerima referensi tentang kiamat yang mahadahsyat, di mana tak ada satu pun manusia yang selamat, akan timbul kesadaran baru dalam benak mereka, kalau situasi seperti itu benar-benar datang hanya Allah yang bisa menyelamatkan mereka.

Makin banyak orang yang nonton, makin banyak yang terpengaruh, makin banyak orang yang tambah bertakwa. Apakah Pak Kiai tak senang ketika makin banyak orang yang mendekatkan diri kepada-Nya? Aya-aya wae Pak Kiai ini.

Makanya, Pak Kiai, terus terang saya bingung dengan dalil Anda dalam mengambil fatwa haram hanya untuk sebuah film. Juga motivasi Anda dalam menentukan itu.

Apa karena Pak Kiai termasuk orang yang takut kiamat, sehingga ketika ada film yang menggambarkannya dengan jelas beredar, Anda seperti dihadapkan pada kenyataan yang Anda takutkan itu, dan Anda mengajak orang lain agar takut juga? Sampai-sampai Anda ajak juga anak-anak sekolah di Malang membakar film-film bajakan tentang “2012” sebagai ekspresi ketakutan Anda.

Kalau memang benar demikian, kalau memang Anda merespons ini sebagai bentuk ketakutan Anda, tolong koreksi ke-Kiai-an Anda. Karena ketika menyandang predikat Kiai seharusnya Anda adalah orang bertakwa, dan orang jenis itu biasanya tak takut kiamat.

Sunday, September 13, 2009

Tuhan Tidak Bodoh

Ini cerita lucu yang satir. Di Wincosin, Amerika, ada sepasang orangtua dinyatakan bersalah oleh pengadilan setempat karena membiarkan anaknya mati. Ketika anak mereka sekarat, sama sekali tak ada upaya mengantarkan buah hati mereka itu ke dokter agar mendapat penanganan medis.

Tapi bukan berarti mereka ”tidak berbuat apa-apa” untuk menyembuhkan anaknya. Mereka juga sudah “berusaha”. Tapi usaha itu malah bikin si anak sekarat; mereka hanya berdoa sepanjang hari agar anak mereka sembuh.

Mereka berharap kebaikan Tuhan turun saat itu juga. Tapi, ya itu. Restu Tuhan bukan SMS yang bisa sampai saat itu juga. Sementara mukjizat tak turun juga, si anak semakin parah. Tak ada penanganan medis, akhirnya lewat.
Akhirnya pasangan Dale dan Leila Neumann ini harus duduk jadi pesakitan di pengadilan setempat. Mereka terancam pembunuhan tingkat dua diancam 25 tahun penjara karena membiarkan anaknya mati begitu saja.

Dalam sidang, Neumann mengaku sangat yakin Tuhan akan menyembuhkan penyakit putrinya. Anak perempuannya tewas karena diabetes yang tak terdeteksi, Maret tahun lalu.

Masih dalam persidangan itu, ahli kesehatan menyatakan putri Neumann dapat diselamatkan jika mendapatkan pengobatan yang layak, termasuk pemberian insulin sebelum meninggal. Namun Neumann meyakini Tuhan akan menyembuhkan penyakit anaknya itu dan dia mengabaikan medis. ”Kalau saya pergi ke dokter, saya lebih mendahulukan dokter dibandingkan Tuhan,” kata Neumann, seperti dikutip BBC, Minggu (2/8/2009).

Neumann juga mengaku, dia menduga anaknya hanya menderita flu atau demam. Ia tidak menyadari kalau anaknya kena penyakit parah. Yang jelas, dia sangat percaya Tuhan yang Mahabaik menyembuhkan anaknya tanpa dia perlu keluar ongkos ke dokter.

Jadi religius memang baik, disarankan malah. Tapi terlalu religius jadinya malah salah kaprah. Tuhan tidak bodoh. Dia tentu tak ingin merasa sia-sia telah mengisi kepala manusia dengan otak. Kalau mukjizat selalu turun begitu saja, tanpa ada ikhtiar, bukankah itu sama artinya menyia-nyiakan penciptaan otak?

Mungkin saja, pada orang-orang yang tak mau berusaha dan hanya mengharapkan kebaikan dari langit ini, kalau Tuhan membangun sistem jawab langsung terhadap doa mereka, Dia tentu menjawab; ”Memang kamu sekalian nggak punya otak? Aku sudah ngisi kepala kalian dengan itu. Jangan mau seenaknya sendiri dong.” Dan ketika orang-orang hanya berdoa tanpa berusaha, mengesampingkan fungsi otak, mungkin juga Tuhan dongkol dan menghukum mereka. Seperti yang terjadi pada pasangan Neuman itu.

Makanya, aku pribadi terus terang jijik ketika ada seorang sarjana yang sedang terhimpit situasi, tapi tak pernah memikirkan bagaimana caranya keluar dari situasi pelik itu. Terus-terusan mengajak berdoa, tanpa ikhtiar sepenggeliatan pun.

Mereka memilih “membodohkan” Tuhan dengan menafikkan otak ciptaan-Nya, daripada berusaha keras sebagai wujud terimakasih kepada Tuhan yang telah memasukkan otak di dalam paket kepala mereka. Doa memang bagian pelengkap hidup, tapi bukan itu intinya.

Maafkan Pertanyaanku, Tuhan

Malam sepanjang Ramadan ini pemandangan yang kentara di mana-mana, di Jakarta, itu nyaris serupa. Tiap jelang makan sahur segerombolan orang, entah dari ormas atau kelompok pengajian mana, berbondong-bondong sembari menggotong nasi bungkus dan dibagikan ke siapa saja orang yang mereka temui di sepanjang jalan, yang mereka definisikan sebagai duafa.

Indah memang. Kelihatannya semangat berbagi itu tulus. Meringankan beban sesama berembuskan semangat kemanusiaan.

Tapi, ketika aku sempat menyapa beberapa pembagi rezeki itu, aku jadi punya sedikit pandangan yang membingungkanku sendiri.

Karena, mungkin saja, menurut perhitungan mereka yang bagi-bagi nasi itu begini: nasi diberikan begitu saja pada orang-orang yang kelihatannya sulit mencukupi kebutuhan makan sahur. Itu agar mereka bisa sahur, dan akhirnya kuat puasa dalam konteks tak makan maupun tak minum sejak matahari terbit sampai terbenam. Lalu, mungkin, ada kesimpulan, dengan memberikan makan sahur, mereka itu jadi punya andil terhadap ibadah para duafa, karena telah membantu mereka kuat puasa dengan mengganjalkan makan sahur ke perut mereka. Karena men-support ibadah orang, mereka pun kecipratan pahala.

Mungkin Anda menilai aku terlalu serampangan menyimpulkan. Tapi, setidaknya, itu aku simpulkan setelah mendengar jawaban atau respon beberapa peserta pembagi rezeki, ketika aku lontarkan celetukan, "Wah, bagi-bagi rezeki nih."

Dan jawaban perempuan muda yang dibonceng sepeda motor Yamaha Mio itu adalah; "Iya, Mas. Mumpung Ramadan. Waktunya cari pahala." Sedang seorang pria anggota rombongan yang lain menjawab:"Dengan bagi nasi seperti ini kan itung-itung juga membantu mereka biar bisa puasa. Kan lumayan, dapat pahala lagi, hehehe..."

"Mumpung Ramadan"? "Lumayan, dapat pahala lagi"? Hm, frasa yang menarik. Mumpung ada bulan baik, jadi berlomba-lomba menjala pahala. Karena ada janji dilipatgandakan? Kalau tak Ramadan, ah, mungkin mereka-mereka yang rajin bagi-bagi sahur itu ogah kenal sama orang-orang yang malam itu mereka beri nasi.

Lalu pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah; apakah mereka lakukan itu karena berharap pamrih berbentuk pahala? Bukan benar-benar tulus ingin membantu mereka-mereka yang kesusahan, dengan semangat berbagi yang benar-benar tulus tanpa pamrih. Atau semata-mata lillahita'ala? Mereka lakukan itu karena tergiur pahala berlipat dan janji kemudahan masuk surga --yang dalam Alquran digambarkan akan menggerojok mereka yang rajin ibadah dengan kenikmatan itu.

Lalu, maafkan aku Tuhan, bukannya aku selalu berburuk sangka dengan apa yang sedang berlangsung di sekitarku. Bukannya aku menggugat makhluk ciptaan-Mu. Tapi, maaf sekali lagi kalau aku lontarkan pertanyaan usil ini: "apakah ibadah yang tulus, yang tanpa pamrih itu, yang hanya demi Engkau, benar-benar ada?" Kalau Engkau tak pernah janjikan surga, Tuhan, apakah mereka-mereka itu tetap mau berbuat untuk sesama, seperti yang mereka lakukan hampir di setiap malam Ramadan itu?

Pemahamanku mendefinisikan kalau ibadah itu terkesan transaksional. Dan setiap Ramadan pergi, tak ada lagi pemandangan indah itu. Karena tak ada untungnya. Karena harus mengeluarkan ongkos "hanya" untuk pahala yang biasa saja, bukan yang berlipatganda seperti di bulan Ramadan. Dan di luar Ramadan, mereka-mereka yang kebagian makan sahur gratis itu tetap saja kelaparan.

Manusia memang makhluk ekonomi. Homo economicus. Harus selalu ada keuntungan dalam setiap tindakan. Tapi, haruskah status dan pola pikir itu dibawa juga sampai tataran makrokosmos, wilayah-Mu itu, Tuhan?

Tuhan, hanya Engkau yang Maha Mengetahui. Wallahualam.