Friday, January 25, 2013

Mahmud Tetap Milik Zul


“Mahmud pantang mengingkari janji dengan menikahi perempuan lain.”





Pada sebuah siang, di Nagroe Aceh Darussalam:


”BESOK Abang hendak ke Meulaboh?” Mahmud, lelaki yang tinggal di Desa Ruak, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan, Nangroe Aceh Darussalam, yang kutaksir berumur 30-an, melontariku pertanyaan memecah kebekuan kami; yang sekitar 15 menit duduk bersebelahan tanpa kata-kata.


Aku menoleh pada laki-laki bertubuh kokoh itu. ”Menurut rencana begitu,” jawabku apa adanya. Memang, besok aku akan meneruskan perjalananku menyusuri pantai barat Aceh itu ke Meulabouh.


”Meulaboh sekarang indah nian, Abang. Tak seperti dulu, sekarang banyak bangunan bagus,” kata dia, dengan logat Aceh-nya yang sangat kental.


”Oh ya?”


Mahmud mengangguk, lalu melepaskan tatapan mata kami. Lalu, dia melempar pandangan ke Gunung Ruwak, yang berdiri kokoh di sebelah barat desa, sembari menikmati rokok duplikat Dji Sam Soe; yang memilih angka 168 sebagai lambang, bukan 234.


”Meulaboh memang indah. Pantainya… Ah, tapi apalah arti Meulaboh sekarang. ‘Tuk saya, Meulaboh jauh lebih berbinar sebelum tsunami,” lanjut Mahmud.


”Apa pasal?” tanyaku.


Dia tersenyum canggung sambil menatap aku sekejap. Lalu dia isap lagi rokoknya. Pandangannya kembali ke gunung. ”Karena waktu itu ada Zul di sana.”


”Siapa itu, Bang?”


”Calon ibu anak-anak saya, Bang,” jawaban Mahmud itu gamang.


”Oh. Lalu, sekarang dia di mana?”


Masih dengan senyum, yang kali ini jelas dipaksakan, Mahmud menjawab; ”Tanyakan pada ombak di pantai Meulaboh.”


Lalu dia mengembuskan rokoknya kuat-kuat, seperti ingin membuang sebuah rasa yang mengganggunya.


                                                       ***


MAHMUD pernah menyimpan harapan besar, tapi menuai pahit yang amat sangat.


Zul yang dimaksudnya adalah seorang perempuan muda asli Meulaboh. Zulaikha tepatnya, nama lengkap wanita paling jelita di mata Mahmud itu.


”Kami menjalin kasih sejak satu tahun sebelum tsunami mengambil semuanya,” kisah Mahmud, masih di antara kepulan asap rokoknya.


Mahmud jumpa Zul di Meulaboh, ketika dia sering belanja barang untuk stok tokonya yang ada di Kota Fajar, sekitar 300-an kilometer di selatan Meulaboh. Dari dulu Meulaboh memang pusat grosir di Aceh Barat. Zul adalah pelayan salah satu toko langganannya.


Pertautan hati mereka tumbuh dengan cara sederhana. ”Biasa, Abang, dari pandang lah. Dari mata turun ke hati,” kata Mahmud, lalu tersipu.


Sejak mendapati perempuan elok bernama Zul itu, Mahmud makin kerap datang ke Meulaboh. Jika sebelumnya paling cepat sebulan sekali dia belanja, setelah perjumpaan itu, dua minggu sekali dia ajeg datang ke kota pantai itu.


Romantika waktu pun mengikat mereka dalam kedekatan. Membaurlah mereka dalam asmara. ”Sehabis belanja, sebelum saya balik ke Kota Fajar, kami selalu duduk di tepi pantai Meulabouh sembari minum air kelapa. Pantai Meulaboh luar biasa elok di sore hari. Apalagi ada Zul di samping saya.”


Cerita cinta berlalu bersama elusan waktu, lalu Mahmud dan Zul sepakat membangun rumah tangga. ”Untuk menghindari zina,” dalil Mahmud.


Orangtua Mahmud sudah berkunjung meminta Zul. Lamaran diterima. ”Kami terikat pertunangan. Ah, gembira sangat rasa hati ni. Siapa tak senang hendak bersanding dengan pujaan hati,” katanya.


Setelah melalui musyawarah antar-keluarga kedua calon mempelai, diputuskanlah pernikahan akan dihelat bulan Februari 2005.


Mahmud dan Zul juga sudah punya rencana setelah pernikahan mereka. Sejoli itu membeli tanah di tepi pantai Meulaboh dari tabungan. Memang tak luas, kata Mahmud, tapi cukup buat dia, Zul, dan dua anak yang diharapkan akan melengkapi indahnya mahligai rumah tangga mereka. “Kami ingin sewaktu-waktu bisa menikmati keindahan alam karunia Allah di pantai itu”.


Waktu pernikahan pun masuk hitungan mundur. Tinggal dua bulan. Segala keperluan untuk rumah tangga juga sudah mereka persiapkan. Rumah mungil di tepi pantai itu hampir jadi.


”Kami masih ada sedikit uang. Rencananya kami hendak membuka toko kecil-kecilan di sana. Karena memang hanya berdagang yang bisa kami lakukan untuk menafkahi diri,” kata Mahmud.


                                                          ***


SABTU, 25 Desember 2004, Mahmud sengaja tidur di rumahnya yang hampir jadi itu. Sejak rumah dibangun, dua minggu sekali di akhir pekan Mahmud bermalam di Meulaboh. Dan Minggu pagi, lepas Subuh, Mahmud mengajak Zul menikmati panorama tepi pantai sampai tengah hari.


Kebiasaan itu juga dilakoni di hari Minggu pagi, 26 Desember 2004 itu.


Memang, tak ada seorang pun yang cakap memprediksi tragedi. Minggu pagi yang bernyanyi malu-malu itu rupanya adalah awal dari sebuah akhir.


Pukul 7 tepat, ketika Mahmud dan Zul sedang menikmati kelapa muda dan cinta yang mempesona, tiba-tiba gempa luar biasa kencang menggoyang tepi pantai itu.


”Selama gempa tak henti-hentinya Zul mencengkeram lengan saya. Dia amat ketakutan. Saya memeluknya, agar dia tenang. Padahal saya sendiri juga takut,” cerita Mahmud.


Begitu gempa berhenti, dan setelah pusing akibat goyangan itu hilang, mereka terpana. ”Meulaboh hancur dalam sekejap. Rumah saya yang hampir jadi juga ambruk.”


Keterpanaan mereka belum berhenti. Ketika menatap laut, mereka mendapati air mendadak surut. ”Waktu itu kami semua tak paham kalau itu tanda tsunami.”


Tak mengacuhkan laut surut yang menyemburkan banyak ikan ke tepian pantai itu, Mahmud, Zul, dan banyak orang di Meulaboh berusaha mengemasi bangunan milik mereka yang porak poranda.


Lalu, dalam sebuah momen yang tak pernah dinyana oleh siapapun, datanglah “klimaks” dari rangkaian bencana Minggu pagi itu. Sekitar 15 menit setelah gempa, ketika semua orang di Meulabouh sibuk mengemasi harta masing-masing, Mahmud, Zul, dan orang di sekitar pantai, mendapati cakrawala di kejauhan diselimuti garis tebal hitam pekat.


”Langit di sekitar cakrawala amat gelap sangat. Kami bertanya-tanya, apakah itu? Apa akan ada gempa lagi?”


”Saya masih ingat, ketika tsunami itu tampak dari jauh, Zul bertanya pada saya; ‘Abang, apa pula itu?’. Tapi saya tak bisa menjawab, karena saya juga tak paham. Saya hanya ternganga takjub sekaligus takut.”


Belum sempat pertanyaan terjawab, terdengar deru luar biasa kencang. Akhirnya beberapa warga yang mulai menyadari apa yang sedang terjadi, berteriak; ”Tsunami!”


Mendengar teriakan itu semua orang panik pontang-panting. Semburat menyelamatkan diri. ”Gelombang lebih tinggi dari pohon kelapa,” ingat Mahmud.


Spontan Mahmud raih tangan Zul, mengajaknya menyelamatkan diri bersama. Di tengah ancaman itu, cinta membuat keduanya tak bisa dipisahkan.


”Pucat sangat dia waktu itu. Tak hentinya dia mengucapkan takbir. Situasi panik luar biasa.”


Di tengah kepanikan, ”Zul berkata pada saya; ‘Abang, jangan lepaskan Zul. Zul takut.’ Itulah kata-kata terakhir yang saya dengar dari dia.”


Tanpa menjawab permintaan itu, sembari terus berlari lantaran dikejar ombak besar berkecepatan tinggi, Mahmud tetap berusaha menggandeng calon mempelainya itu.


Sampai akhirnya gelombang yang memburu lebih cepat dan kuat mengempaskan tautan tangan mereka.


”Berenanglah, Zul!” Mahmud menirukan teriakannya ketika tangannya lepas dari genggaman Zul. Namun, yang diperingatkan tak menjawab. Mahmud terdorong gelombang ke tengah kota, sedangkan Zul hanyut entah ke mana.


”Saya berenang ke gedung DPRD Meulaboh yang tinggi. Banyak orang sudah di situ.”


Setelah berhasil mendarat, Mahmud sadar Zul tak ada di belakangnya. Diiringi panik tak terkira akan nasib cintanya, Mahmud aduk-aduk gedung DPRD. Dia jelajahi setiap sudut, dia tatap wajah setiap perempuan yang ada di situ, berharap Zul salah satu di antaranya.


”Tapi saya tak tampak dia sama sekali…”


Air menggila. Kian deras menghujam daratan dengan volume yang kian besar. Seisi gedung dewan panik. Takbir, doa, Al-Fatihah, dilantunkan tak henti-henti. Semua menangis, panik, histeris, pingsan, lemas. Juga Mahmud.


”Tak hentinya saya berdoa dan membaca Al-Fatihah, berharap Zul tak kenapa-kenapa.” Di tengah cemas terhadap nasib sendiri itu, Mahmud tetap membagi nalurinya untuk Zul.


                                                      ***


PRAHARA mengamuk beberapa jam.


Air meleburkan semua yang ada di permukaan kota pantai Meulabouh.






Beberapa jam kemudian akhirnya air surut. Permukaan laut normal kembali. Terpanalah Mahmud juga orang-orang di gedung dewan. Meulaboh, kota tua perdagangan itu, hancur lebur. ”Tak ada satu pun bangunan yang tersisa. Semua habis.”


Bersama orang lain yang juga kehilangan keluarga, Mahmud turun dari tempat tinggi itu, mengorek-korek puing, pasir dan lumpur, berharap menemukan apa yang mereka cari.


Dan yang terbersit pertama kali dalam benak Mahmud adalah mencari Zul. ”Semuanya benar-benar hancur lebur. Rumah saya yang hampir jadi tak tersisa sama sekali.”


Mahmud sampai nekat terjun ke laut untuk mencari di manakah Zul. Di air banyak jasad mengapung. Mahmud cari satu-satu, berenang berbekal sisa tenaga. Tapi tetap tak dia dapati apa yang dia harapkan.


Lelaki yang sedang jatuh cinta itu tak patah arang. Keluar dari laut, dengan tenaga yang kian tipis, dia tuju rumah keluarga Zul, sekitar 5 kilometer dari tepi pantai. Dia jalan kaki. Sayang, rumah yang dicarinya juga telah tak ada, rata dimakan gelombang.


”Tak ada yang tersisa dari Zul. Keluarganya pun habis.”


Mahmud dan orang lain yang selamat hanya pasrah dihajar kepiluan. ”Ngilu kali hati ini. Beberapa saat sebelumnya kami bermesraan, bergandengan. Tapi tak lama setelah itu, kami terpisah sama sekali.”


Mahmud menunduk dalam-dalam ketika menceritakan bagian ini.


                                           ***


KORBAN selamat tsunami Meulabouh terisolir. Meulaboh dan Calang adalah daerah pesisir yang paling parah. Setelah bencana itu, kedua daerah tersebut juga paling sulit dicapai oleh tim relawan maupun penyelamat. Pantainya datar dan mempersilahkan begitu saja tsunami menghajar daerah itu, tanpa sedikit pun pelindung.


Meulaboh habis.


Selama dua pekan Mahmud dan yang selamat hidup tanpa bantuan. Terisolir. Mereka bertahan dengan makan apa saja yang masih tersisa. Ada yang makan ikan terdampar, ada yang mengais-ngais reruntuhan toko sembako, ada yang makan buah kelapa. Ada juga yang melahap beras mentah yang basah. Tak sedikit di antara mereka yang mati kelaparan.


Di tengah siksaan yang mendera fisiknya yang letih dan terisolir itu, Mahmud masih menyimpan harapan yang sangat besar untuk bertemu Zul. Harapan itu jugalah yang membuat Mahmud mampu bertahan di tengah hantaman kelaparan.


Tapi, Mahmud akhirnya harus sudi menerima, bahwa keyakinan hanya berhenti pada keyakinan. Kenyataan memaparkan bahwa Mahmud tak akan pernah bertemu lagi dengan Zul. Pun hanya dalam rupa jasad sekalipun.


                                            ***


DUA pekan berlalu di Meulabuoh bersama bayang-bayang maut. Akhirnya bantuan pertama berhasil masuk, diangkut pesawat cesna bernama Susi Air. Tertolonglah mereka yang masih hidup. Termasuk Mahmud.


Evakuasi besar-besaran dilakukan tim TNI, relawan, juga bantuan internasional. Jasad-jasad yang berhasil ditemukan digabung menjadi satu di dataran tinggi.


”Dari banyak sekali jasad itu tetap tak ada Zul di antaranya.”


Setelah dievakuasi, Mahmud langsung pulang ke Aceh Selatan, kampungnya, sekaligus satu-satunya daerah di Aceh yang selamat dari amukan tsunami. Di kampungnya, bersama ketakutan akan ancaman Komisi Pembebasan Aceh (KPA) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang masih lestari ketika itu, Mahmud terus memelihara harapan bisa mendengar kabar dari Zul tercinta.


”Kalau pun dia meninggal, jasadnya ditemukan saja saya sudah senang.”


Pada akhirnya kenyataan membuat Mahmud takluk. Hingga lima tahun berlalu sejak bencana itu, tak ada secuil pun kabar tentang Zul atau keluarganya.


”Setelah Meulaboh dibuka lagi, saya langsung ke sana. Masih berharap jasad Zul ditemukan. Tapi tetap saja tak ada apa-apa. Semua tentang Zul habis. Fotonya pun saya tak simpan. Habis semua ditelan tsunami.”


                                               ***


MAHMUD melepaskan pandangan gunung di Ruak. Dia tertunduk sejenak, seperti kelelahan usai menuturkan kembali kisah pada salah satu bagian hidupnya yang paling meremas kalbu. Dia isap lagi rokoknya. Sangat dalam, sedalam dia menyimpan kisah itu.


”Tapi…. Sekarang Abang sudah menikah kan?” tanyaku.


Mendapati pertanyaanku, Mahmud terkejut. ”Dengan siapa?” dia malah menanya balik.


”Ya dengan perempuan lah…,” jawabku spontan.


Lagi-lagi, Mahmud hanya tersenyum.


”Sampai kapan pun Mahmud tetap milik Zul, Bang. Mahmud hanya akan menikah dengan Zul. Kami sudah terikat janji. Cincin pertunangan kami masih melingkar di jari saya ini. Mahmud pantang mengingkari janji dengan menikahi perempuan lain.”


Lalu pria yang kehilangan itu menunjukkan jari manis kirinya. Cincin emas melingkar di situ. Dia menatap tanda pertunangan itu dengan pandangan yang aneh, memancarkan kesan rindu amat sangat.


”Abang sudah beristri?” Mahmud malah menanyaiku balik.


”Belum, Bang.”


”Ada calon?”


”Insyaallah ada.”


Mahmud tersenyum lagi. Kali ini lebih mirip seringai.


”Abang jagalah dia baik-baik calon Abang itu. Jangan sampai Abang tanggung sesal seumur hidup.”


Ah, rupanya Mahmud sedang mengutuki dirinya sendiri. Rupanya dia merasa telah gagal menjaga cintanya di antara amuk tsunami itu, sehingga sang terkasih raib bersama lautan Hindia yang amat luas itu.


Aku membalas dengan senyum.


Waktuku di Desa Ruak sudah habis. Aku berpamitan pada Mahmud, lalu meninggalkan sendiri pria yang menjaga kehormatan dan kesetiaannya itu.


Dia masih mencumbui kenangannya tentang Meulaboh; bersama cincin yang masih melingkar di jari manis tangan kirinya untuk cinta yang tak pernah selesai.(*)






Nangroe Aceh Darussalam, 10 Januari 2010


Sebuah Catatan Perjalanan

No comments:

Post a Comment