Friday, January 25, 2013

Pria dan Cinta yang Lewat

Tentang satu kisah pada sebuah waktu di tahun 1997. 




image




TAK terhitung berapa lama Pria itu membiarkan hatinya tak berpenghuni. Sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Surabaya, dia terlalu menghayati perannya sebagai pribadi yang harus belajar. Dia terlalu sibuk menjejali otaknya dengan referensi keilmuan. Dan untuk bidang satu itu, dia boleh bangga. Dia unggul.  Kawan-kawan dan dosen menyebutnya cerdas.


Tapi, sebagai manusia lengkap, yang juga punya afeksi di samping kognisinya yang mumpuni, pria itu bersikap tidak adil. Entah disengaja atau tidak, dia lebih memanjakan kemampuannya bernalar dan mengabaikan kebutuhannya untuk merasa. Hatinya dibiarkan terbengkalai. 


Hingga waktu menyadarkannya dengan sebuah sentilan dalam gulirnya.


Pria itu lama-lama merasakan rindu. Di tengah gempita kecerdasannya, tumbuh ruang kosong dalam dirinya. Melompong seperti kepompong yang ditinggal kupu-kupu.


Dia mencoba berpikir keras, mencari cara untuk mengabaikan kekosongan itu. Tapi kekuatan dahsyat dari luar nalarnya menempatkannya pada posisi yang tak boleh melawan. Dia dipaksa untuk mengikuti menuntaskan dahaga hati. Dia harus mengisinya. 


Celakanya, dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau pun akhirnya tahu apa yang harus dilakoni, dia bingung bagaimana melakukannya. Dia terjebak dalam situasi yang, ah, persetan!


Suatu ketika Pria itu baru sadar kalau perkara kekosongannya yang membingungkan itu itu tidak bisa selesai hanya dengan persetan. Rasa tidak bisa diabaikan. Sepersetan apapun dia berusaha membuangnya, sepersetan itu pula rindu menggebuk hatinya yang kosong. 


Dan semesta yang sedang berwajah siang pun membawa Pria itu berjumpa dengan sebuah situasi yang membuat dia mahfum; kalau romansa itu lezat dan tak bisa pergi begitu saja. Cupid yang lama dia biarkan tak bekerja membidik cinta yang ambigu.


Pria itu melihat perempuan yang, menurutnya, nyaris sempurna. Mungkin baginya, wanita itu adalah pengejawantahan tulang rusuknya yang sengaja disimpan Tuhan untuk dijadikan pasangannya. Dia merasa cocok.


Pria ini melihatnya melintas di depan fakultas. Si Wanita itu berjalan santai, mengenakan kaos Polo warna putih plus setelan celana berbahan kain warna cokelat tua. Agak jadul, tapi menurut pemahaman Pria yang sedang perlu romantis ini, justru itu yang disebut ciptaan Tuhan yang indah dan spesial. 


Hati Pria itu pun mulai terkail oleh makhluk indah berambut ikal sebahu, bermata tajam elang, wajah tirus hidung mancung dibungkus kulit cokelat tua lengkap dengan bulu halus di tangan itu.


 “Aaaahhhhh…” itulah yang bisa diteriakkan Pria ini dalam batinnya setiap kali sang pujaan melintas dan berlalu begitu saja. 


Bagaimana membuka ruang komunikasi dengan si “indah”? Pertanyaan pelik dirasanya, karena Pria yang rasional itu tak mampu menemukan jawabannya di lembaran buku diktat yang sangat dia junjung dan puja sebagai kebenaran.


Perempuan itu sama sekali asing buat Pria itu. Tapi, sejak pandangan pertamanya, makhluk sejenis Hawa itu mendadak jadi bagian dalam ruang kosong si Pria yang ingin diisi. Cupid semakin menggelitiknya agar menari-nari dalam romansa, yang sebenarnya bisa nyata andai Pria itu tahu caranya.


Salahnya si Pria, dia terlalu memikirkan “bagaimana caranya” untuk merajut percakapan dengan si Ikal. Dia memikirkan hal yang tak mungkin dijawab nalar. Dia menghalang-halangi hasrat dengan otak yang sok rasional itu. 


Dia terlalu berfikir, yang justru membawanya pada gontai. Dia memainkan pikiran di alam yang tak boleh tersentuh logika. Bisa dibilang, inilah sebenarnya metafisika yang indah. Tapi Pria ini memilih pening dengan memaksakan otak.


Dia tak tahu bagaimana cara meraih keindahan itu. Tapi pada posisi yang pararel, Pria itu tak ingin melepaskannya begitu saja. Dan dia mengambil keputusan yang konyol: mulailah dia bermain-main dengan kenikmatan subjektif. 


Dia memilih bercengkerama dengan angan-angan. Dia memilih menikmati indah wanita itu dalam jarak. Dia menikmatinya dengan mata, menariknya dalam hati, dan meramunya sendiri dalam sebuah romantisme privat. Dia memaksakan diri akrab dengan cara aneh itu.


Pria ini juga ingin mengemas agar percumbuannya dengan ilusi itu terasa nyata. Dia ingat-ingat betul pukul berapa wanita itu melintas di depan fakultasnya. Dia berpatokan pada jam ketika pertama kali keindahan itu menyapa hatinya. Setiap di saat yang sama, setiap hari, Pria itu duduk manis di depan fakultas, berharap si Dara itu menyapa pandangnya.


Dan benar. Si ikal berwajah tirus jelita itu selalu melintas di jam yang sama. Pria itu pun menahbiskan saat-saat itu sebagai ritual rutin setiap hari. Dia kecap kenikmatan semu yang berjarak. Setiap hari dia geluti romansa tanpa tegur sapa itu.


Ketika si Jelita lewat bersama angin yang menggigil, Pria itu merasakan sepoi yang membelai. Ketika si Jelita melintas bersama terik yang gerah, Pria itu merasakan sejuk yang memeluk. Ketika si Jelita berlalu bersama hujan yang membeku, Pria itu merasakan hangat yang lekat. 


Oh, Pria ini benar-benar dibuai meski cinta itu hanyalah halusinasi satu arah.


Dan, waktu pun tak mau terlalu lama memahami hati Pria yang sedang merona dalam kebodohannya itu. 


Bersama laju waktu yang tak kenal jeda, berlalu pula pemandangan rutin ritual romansa Pria ini itu. Si Ikal benar-benar berlalu hilang dari pandangannya. 


Pria ini tak pernah lagi melihat keindahan subjek afeksinya itu melintas di depan fakultas. Hati Pria yang sempat disinggahi embun itu perlahan-lahan mengering. Tapi, itu memang kekhilafannya sendiri, dengan mengambil keputusan kurang tepat. Dia terlalu bodoh untuk membangun perjumpaan nyata. Bahkan, siapakah nama sang pujaan, tak pernah mampir ke kuping Pria itu. Dan setelah musnah dari pandangan, hendak mencari ke mana?


Hanya satu kesalahan Pria ini; dia tak pernah coba menghadang perempuan itu, mengulurkan tangan dan berucap,”Saya Pria yang mengagumi Anda.”  Keindahan itu dikemas dalam ruang khusus di gudang memori si Pria, yang dia hanya berani menikmati dalam mimpi, sendiri, juga diamnya. 


Cinta pun lewat begitu saja…





Jakarta, 23 Maret 2009


Untaian simpatik untuk sahabat.




No comments:

Post a Comment