Monday, December 31, 2012

Rebo, Nama Orang Gunung Itu

Gunung LawuDI ANTARA lipatan ingatan ini terselip sebuah cerita tentang gunung; panggung yang selalu menyuguhkan rasa nyaman. Disediakan pada siapa saja yang mau menyapanya sebagai sahabat. Mendiami gunung adalah pilihan bersahaja. Mereka yang berdomisili jauh dari peradaban kota itu tak pernah berhitung sedemikian rumitnya.


Di gunung pula aku kenal Pak Rebo. Atau Rabu dalam bahasa Indonesia. Nama yang sederhana, memang. Begitu simpel orangtua “nggunung” menamai anak mereka, sebagaimana bapak-ibu Pak Rebo menamainya, sesimpel cara hidup mereka. Tak perlu berpikir terlalu rumit untuk menandai anaknya. Lahir hari apa, begitulah si anak dinamai. 


Mungkin juga para orangtua yang hidup di gunung enggan memberi nama yang terlalu sarat makna, seperti”Wibowo”, atau “Rahmat”, atau “Prakoso”. Nama-nama yang “agak beradab” memang. Tapi sekaligus sebuah predikat yang mengerikan. 


Karena, di mana di balik nama-nama bagus itu sebenarnya orangtua memanggulkan beban yang sangat berat pada si anak. Nama yang sangat penuh arti dalam koridor kapitalistik yang kian edan-edanan ini. Dunia yang penuh aktivitas hitung menghitung, yang luar biasa rumit. Tanggungan yang belum tentu bisa ditanggung si yang punya nama. 


Mereka, orangtua modern itu, menamai anaknya Wibowo karena ingin si anak jadi orang berwibawa alias disegani. Dan, seumur hidup, dengan membawa nama itu, si anak akan selalu tertanggungi beban untuk menjadi apa yang diharapkan orangtua, sebagai orang berwibawa, lengkap dengan berbagai macam syaratnya. Harus kaya, punya jabatan, atau jimatlah, asal disegani. 


Diberi nama Rahmat karena orangtua ingin anaknya bisa jadi “rahmat” untuk semua orang. Bisa membuat orang nyaman. Tapi ada syarat agar bisa benar-benar jadi rahmat. Dengan tolok ukur modernisasi dan perputaran modal yang kian menggila ini, syaratnya tentu harus punya uang, kedudukan, atau jimat juga, karena hanya itulah yang bisa digunakan untuk menolong orang. Dengan begitu, dia bisa membuat orang merasakan kehadirannya sebagai rahmat.


Dinamai Prakoso karena orangtua ingin anak jadi perkasa. Tak tertandingi. Untuk itu, tetap ada syarat-syarat yang harus dipenuhi; harus sangat kaya, sangat tinggi kedudukannya –baik di institusi atau masyarakat– sehingga tak tertandingi, dan benar-benar jadi perkasa. Kalau perlu memperkosa orang agar kian jelas keperkasaannya.


Shakespeare boleh berucap, “apalah arti sebuah nama.” Ya, karena, ketika dia mengatakan itu kapitalisme tak segila sekarang. Ketika orang-orang belum punya motif untuk menyelubungkan harapan tinggi pada nama, atas nama keinginan hidup nyaman bergelimang kapital.


Tapi, apa yang lalu terjadi ketika ternyata si anak tidak bisa mewujudkan Wibowo, Rahmat, atau Prakoso yang diharapkan orangtua? Katanya dosa. Katakanlah, mereka gagal berwibawa, gagal jadi rahmat, atau tak seperkasa yang diinginkan karena gagal jadi kaya, tak punya kedudukan, atau gagal mendapatkan jimat. Orangtua biasanya kecewa. Karena kebahagiaan, harapan itu, selalu terikat dengan definisi tentang kekayaan secara materi.


Penyematan nama yang terlalu dipamrihi harapan itu ternyata malah bisa jadi bumerang, jadi perenggang hubungan orangtua–anak, ketika si anak gagal mewujudkan apa yang diingini orangtua. Orangtua merasa kecewa, sementara si anak merasa berdosa dan malu. Jadinya, selalu ada kata enggan di tengah hubungan mereka.


Padahal, kegagalan itu bukan melulu karena si anak tak mau, tapi karena manusia memang didatangkan ke dunia dengan kapasitas yang berbeda-beda. Ada yang bisa mencapai situasi tertentu, ada yang tidak. Kalau dipaksakan, wah, malah bisa kacau semua. Situasi di hidup antara harapan dan kenyataan memang rumit.


Mungkin beban pemberian nama berpamrih itulah yang dipahami wong nggunung, seperti orangtua Pak Rebo, yang menamai anaknya dengan begitu sederhana. Mereka tak ingin membebani anak dengan nama yang penuh arti, tapi ujung-ujungnya berharap mendapat imbal balik dari anak, dalam bentuk kenyamanan di hari tua dengan harta atau kedudukan yang ”cukup”. Atau ketika si anak benar-benar menjadi Wibowo, Rahmat, atau Prakoso.


Karena itulah, Pak Rebo, waktu lahir di hari Rabu, yang dia lupa tahunnya, yang jelas ketika pohon asem yang sekarang tingginya 10 meteran itu masih selutut orang dewasa berukuran Indonesia, dinamai seperti itu. Sebagai pengingat saja, kalau pernah lahir seorang manusia di hari Rabu. Sekaligus sebagai syarat untuk mengisi kartu tanda penduduk saja.


Dengan menamai anak apa adanya, orangtua Pak Rebo seperti tak ingin membebani anaknya dengan sesuatu. Mungkin, di alam bawah sadar mereka malah sadar, dengan tak terlalu memasangkan target pada nama anaknya, mereka ingin si anak hidup apa adanya, tak terlalu kejar target –yang bisa membuat orang gelap mata. Orangtua Pak Rebo membiarkan anaknya mengalir, seperti hari; yang selalu berlalu begitu saja, tapi mengemas banyak makna.


Entah ada hubungannya dengan makna di balik nama atau tidak, yang jelas berhubungan dengan Pak Rebo, orang gunung itu, memang rasanya seperti mengalir begitu saja tapi sarat makna. Kembali lagi pada perkenalan dengan Beliau, sekitar awal tahun 2000 lalu, ketika hobi naik gunung masih bisa aku lakoni rutin dua bulan sekali.


Ketika itu hujan–angin yang tak putus-putus menyapu puncak Lawu. Dinginnya jelas tak bisa dikatakan biasa. Aku dan Saiful alias Ipul, temanku, menggigil di dalam tenda dari parasut itu. Sangat putus asa kami ketika itu. Sekujur fisikku membeku. Kaku, sampai tak bisa apa-apa selain meringkuk dibungkus jaket dan celana rangkap tiga dan selimut.


Di tengah pasrah itu, tiba-tiba kami melihat ada sebuah cahaya mendekat. Aku pikir malaikat yang hendak menjemput ruh kami. 


Ternyata bukan. Cahaya itu ternyata berasal dari ublik yang dibawa seorang pria paruh baya, berbadan tak terlalu besar tapi kokoh, yang berkerudung plastik dan berkalung sarung. Tiba-tiba dia menyibak tirai tenda kami.


”Mas, mungkin lebih baik ikut ke rumah saya saja. Di sini terlalu dingin,” intonasi suaranya, yang dikemas dalam bahasa Jawa halus itu, jelas menunjukkan ketulusan tawarannya. Tanpa pikir panjang, aku dan Ipul yang tak ingin mati konyol mengiyakan tawaran tersebut. Kami tinggalkan begitu saja tenda basah dan dingin menggigit itu, ikut si Bapak menuju rumahnya, yang ternyata jauh sekali dari tenda kami.


Begitu masuk rumah berdinding kayu pinus itu, kami langsung disodori kain untuk mengeringkan tubuh. Kami juga dipersilahkan mengganti baju dengan pakaian yang dipinjami si bapak. Setelah berganti baju, kami dipersilahkan duduk di balai-balai bambu di ruang utama rumah berlantai tanah itu. Kami disuguhi kopi tubruk. 


”Monggo diunjuk (Silahkan diminum),” kata si Bapak, dengan senyum yang menunjukkan gigi-gigi cokelatnya. Tanpa basa-basi, langsung kami seruput kopi mengepul itu dengan bibir kami yang pucat. Rasanya seperti menemukan separuh nyawa yang sempat pergi.


 “Tepangaken, nami kulo Rebo (Perkenalkan, nama saya Rebo),” kata si Bapak, lagi-lagi dengan intonasi yang sama tulus, sama seperti yang dia lontarkan ketika menawari kami yang kedinginan di dalam tenda. Kami pun membalas dengan menyebut nama kami masing-masing.


”Saya sudah melihat sampeyan berdua beberapa hari terakhir. Saya mau tawari mampir tapi takut mengganggu,” Pak Rebo membuka perbincangan. Malam itu kami terlibat dalam sebuah pembicaraan yang begitu dekat, kendati kami baru saja bertatap muka dan bertukar nama.


Pak Rebo adalah penggarap kebun singkong dan pencari ranting di hutan cemara. Dia tak pernah sekolah. Dia duda setelah ditinggal mati istrinya, dua tahun sebelum malam itu. Dia punya seorang anak, laki-laki, bernama Teguh, yang memutuskan untuk merantau ke Arab Saudi. Tapi, sejak pergi lima tahun sebelum malam itu, tak ada lagi kabar berita dari si anak. Salah satu penyebab istrinya meninggal juga karena terlalu memikirkan anaknya yang hilang.


”Sebenarnya saya tak pernah mengharapkan dikirimi uang. Saya rasa hidup saya sudah cukup dengan berkebun singkong dan mencari ranting. Sebenarnya saya hanya ingin dia kembali. Dia pulang saja saya sudah senang,” Pak Rebo seperti dipaksa mengenangkan sesuatu yang sebenarnya tak ingin dikenangkan.


Pak Rebo pun jujur mengaku, menolong kami berdua karena ingat anak lelakinya, yang katanya seumuran kami. Dia seperti melihat anaknya pulang lagi. Karena itulah kami jadi mahfum, kenapa pembicaraan malam dingin itu begitu akrab. Ada suasana perbincangan antara ayah dengan anak rupanya. Tapi, jujur, berbincang dengan Pak Rebo itu membuat aku menemukan nyaman. Seperti bercakap dengan bapakku sendiri.


Malam itu seolah terlalu malas. Banyak hal yang kami bahas, terutama tentang kebersahajaan hidup seorang Rebo di tengah gunung itu. Dia berbicara tentang alam, rahmat Tuhan, dan sikap nerimo.


Setelah berbicara ngalor ngidul, di mana ihwal kelahirannya yang berpatokan pada pohon asem itu kami ketahui juga dari perbincangan itu, akhirnya kami mengantuk. Pak Rebo mempersilahkan kami tidur di tempat tidurnya yang hangat. 


”Lha, sampeyan berdua tamu. Ya harus dienakkan,” begitu katanya. Dia memilih tidur di balai ruang utama, tempat kami berbincang tadi. Tentunya dingin sekali di situ. Segan rasanya, tapi lebih segan lagi menolak tawarannya. Karena, aku tahu, Pak Rebo tulus mempersilahkan kami, dan dia akan kecewa kalau kami menolak, kendati pun kami kemukakan alasan sungkan sekalipun.


Begitu bangun keesokannya, saat hari sudah mulai beranjak siang, kami seperti dirajakan. Lagi-lagi kopi dan singkong rebus sudah tersaji. Pak Rebo sedang di kebun singkong di belakang rumahnya, untuk memastikan apakah tanaman yang menafkahinya itu baik-baik saja setelah diguyur hujan semalam. Kami menyantap hidangan itu, setelah sebelumnya menyapa si empunya rumah. Pak Rebo hanya membalas dengan senyum, sembari berkata, “Monggo, kopi sama singkongnya.”


Setelah merasa tubuh agak enakan, kami memutuskan turun gunung saja. Ketika kami pamit, ada ekspresi keberatan di muka Pak Rebo. Tapi dia sadar, dia tak punya hak untuk menahan kami.


Sebelum pulang, kami diberi seikat singkong segar. “Buat oleh-oleh,” kata Pak Rebo. Kami tambah kikuk. Enak benar kami ini; semalam ditolong dari kebekuan, dijamu seperti raja, pulang masih dikasih oleh-oleh singkong, banyak lagi. Mengingat singkong adalah penghasilan Pak Rebo, aku seperti otomatis mengkalkulasikan; kira-kira berapa penghasilan Pak Rebo yang hilang hanya karena ingin memberi kami oleh-oleh?


Dengan rasa canggung akibat pola pikir kapitalis lanjut yang sudah kadung mengurat dalam otakku, aku keluarkan sisa uang bekal kami. Maksudnya, untuk membayar servis yang kami terima, sekaligus membayar singkong oleh-oleh itu.


Ketika aku menyodorkan uang, rupanya sebuah kesalahan besar telah aku perbuat. ”Saya tak ingin uang. Singkong itu tak akan habis saya makan sendiri. Saya hanya ingin sampeyan berdua ingat saya, ingat ada saudara yang tinggal di gunung ini,” kata Pak Rebo, dengan nada kecewa yang tak bisa disembunyikan. Dahinya mengernyit.


Kami dipaksa malu dan harus belajar tentang sesuatu. ”Saya ini wong gunung. Ndak perlu banyak uang. Alam sudah memberi saya semuanya. Saya hanya ingin punya kerabat, yang sesekali waktu mau menjenguk saya di gunung ini.” 


Ah, bodohnya aku. Jelas, persaudaraan jauh lebih berharga dari pada uang untuk Pak Rebo. Kepalanya tak pernah terisi dengan kalkulasi, tapi hatinya selalu menawarkan kenyamanan untuk siapa saja yang mengenalnya, tulus. 


Dengan perasaan bersalah kami sambar tangan Pak Rebo, kami cium sebagai bentuk terimakasih yang tak terhingga. Malah Pak Rebo yang jadi kikuk. Akhirnya, bersama oleh-oleh dan keikhlasan Pak Rebo, siang itu kami tinggalkan sosok bersahaja itu  


Setelah itu, entah ada semacam perasaan keharusan yang tulus, setiap aku mendaki Lawu, selalu aku jenguk Pak Rebo, yang selalu menyambut aku dengan kata sambutan, “Anak lanang (anak lelaki) datang.” 


Dan Pak Rebo selalu menjamuku dengan suguhan hasil alam yang tak pernah bisa aku tolak. Dan setiap bersama Pak Rebo, aku hampir lupa kalau di dunia ini ada benda –yang cenderung dipandang sebagai Tuhan oleh beberapa orang– bernama uang.   


Waktu berlalu laju. Sampai akhirnya aktivitas berburu rupiah atas nama kesejahteraan memutus rutinitas silaturahmiku dengan Pak Rebo. Bertahun-tahun sudah kami tak sua. Tak bisa berkirim SMS atau telepon, karena Pak Rebo tak pernah punya piranti untuk itu.


Ketika aku mendapat kesempatan berlibur, lepas dari keseharian yang penuh tekanan itu, beberapa waktu lalu, tiba-tiba aku ingata Beliau. Aku sempatkan diri menjenguk Pak Rebo. Aku rindu suasana akrab di balai bambu ruang utama, dan berbincang akrab dengan Pak Rebo. Masih sehatkah bapakku satu itu?


Tapi, aku harus kecewa. Kebersahajaan hidup Pak Rebo rupanya telah punah. Rumah berdinding kayu itu, yang pernah menyelamatkan aku dari terkaman dingin yang membekukan, pada suatu malam sekitar 10 tahun lalu, telah disulap jadi jalan mulus, bernama jalan tembus Sarangan-Karanganyar.


Jalur ekonomi Magetan-Solo memang sedang diminati. Modal yang kian laju butuh prasarana jalan yang memadahi. Ah, lagi-lagi modernisasi menggilas habis kebersahajaan. 


Aku berdiri di tengah jalan mulus belum terlalu lama dibangun itu. Aku nyalakan sebatang rokok, aku hisap dalam-dalam. Kabut ikut menyelinap di antara asap, masuk dalam paru-paruku. Dingin, seperti beku di dalam tenda yang diterjang hujan angin, sebelum aku ditemukan Pak Rebo, 10 tahun lalu. 


Aku embuskan asap bercampur kabut itu pelan-pelan. Di balik kepulan asap, di antara kabut, aku lempar pandang sejauh mungkin, berusaha mencari sisa-sisa kebersahajaan Pak Rebo. Tapi, tetap saja tak aku temukan jawaban, ke mana pembangunan menendangnya….. (*)



(Repost from: January 11th 2010. Pernah dimuat dalam rubrik Catatan Kaki Keorang Jurnalis, Koran Seputar Indonesia)

No comments:

Post a Comment