Thursday, February 14, 2013

Aku Mencintaimu, Tragedi


Ada cinta, ada tragedi.




PAGI di Sidoarjo dan Solo ternyata datang di saat bersamaan, kendati dua wilayah ini secara teori terpisah oleh garis bujur yang berbeda. Dan pagiku di Solo ini diawali oleh kegalauan lantaran sebuah “tragedi”.

Istilah itu mungkin terlalu lebay. Tapi, sebagai seorang Madridista, pertandingan Liga Champions Eropa dinihari tadi, bagiku, adalah istilah yang wajar. Itu sebuah tragedi. Berawal ketika Danny Wellbeck sukses merobek gawang Diego Lopez dengan sundulannya di menit ke-20. Si tamu Setan Merah membuat publik Santiago Bernabeu cemas.

Untunglah ada “si komplit” Christiano Ronaldo yang meredam kegalauan tuan rumah, setelah sundulannya –yang diawali lompatan tinggi seolah ada pegas di kakinya-- di menit ke-23 mencabik jala gawang David de Gea.

Tapi, pertandingan itu akhirnya menjadi tragedi karena tuan rumah tak bisa menambah lagi golnya. Hasil seri ini tentunya menguntungkan Manchester United ketika menjamu anak-anak Jose Mourinho di Old Trafford nanti. Kemenangan tipis atau seri tanpa gol cukup untuk membawa anak-anak asuh Alex Ferguson melenggang ke delapan besar.

Dan tentunya itu akan menjadi tragedi untuk Los Blancos. Madridista, seperti aku, memandangnya sebagai sebuah “tragedi”, lantaran ada kemungkinan pupus harapan untuk melihat tim kesayangan membawa pulang piala ajang kompetisi tertinggi level antar-klub Eropa itu.

Ini tragedi, karena aku punya “rasa cinta” terhadap klub yang aku sukai karena alasan sederhana itu –mereka punya warna putih-putih untuk jerseynya, hehe…

Tragedi itu semakin lengkap ketika kawanku, yang pendukung MU, menyambutku dengan senyumnya yang bagiku tampak congkak.

***

KURACIK kopi dan kunikmati nikotin. Untuk mengisi waktu, kubaca surat kabar pagi. Dan ternyata, ada tragedi juga di situ. Tragedi berbau Solo, tempat di mana aku berada saat tulisan ini terketik.

Berita utama salah satu surat kabar yang berpusat di Surabaya, yang berhasil berekspansi ke seluruh wilayah Indonesia, memilih “kisah cinta terlarang” antara Irjen Djoko Susilo, tersangka kasus dugaan korupsi simulator SIM yang ditangani KPK, dengan mantan Puteri Solo 2008, Dipta Anindita.

Menurut berita yang kubaca itu, Dipta kecipratan duit Djoko, yang diduga “haram”, sebagai istri sirinya. Dan pernikahan Djoko-Dipta ini –masih seperti yang ditulis surat kabar itu—belum diketahui oleh istri sah Djoko.

Tapi, setidaknya, pasti ada rasa dalam upaya penyatuan dua manusia berbeda jenis kelamin itu. Rasa yang begitu dibela keduanya, kendati norma kepantasan menyebutnya "terlarang".

Terlepas hukum halal-haram soal duit yang diberikan oleh Djoko pada Dipta, yang jelas pemberian itu didasarkan oleh rasa suka, senang, tertarik, berminat, yang dalam sitasi paling magis, nama-nama rasa itu dirangkum dalam satu kata; CINTA, pada di mantan jawara “ayu-ayuan” ala Solo itu.

Atau, cinta yang “mendadak” ada lantaran tragedi dugaan gratifikasi.

Ketika kulirik tanggal di arlojiku, 14 Februari 2013, sepertinya cerita Djoko dan Dipta ini kok ya pas banget. Drama percintaan yang mendadak tampak lantaran tragedi. Tepat dengan perayaan Hari Valentine, yang kata orang-orang kasmaran adalah hari mereka. Yap, ketika menengok pada titik tolak sejarah untuk hari yang dikultuskan oleh para sejoli ini, sepertinya bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya yang sedang diperingati ini adalah sebuah tragedi.

***

PADA 14 Februari 269 M, hidup seorang pendeta Kristen yang juga dikenal sebagai tabib dermawan bernama Valentine, berakhir setelah kepalanya terpenggal.

Valentine hidup di kerajaan Romawi yang dipimpin Kaisar Claudius. Kaisar yang terkenal kejam. Valentine sangat membenci kaisar karena kekejamannya.

Claudius berambisi membangun pasukan militer besar. Untuk itu, dia ingin semua pria di kerajaannya bergabung.

Keinginan ini tidak mendapat dukungan. Para pria enggan terlibat dalam peperangan. Mereka tidak ingin meninggalkan keluarga dan kekasih. Penolakan itu membuat Claudius marah, lalu memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Claudius berfikir, jika pria tidak menikah, mereka akan dengan senang hati bergabung dengan militer. Claudius melarang pernikahan. Pasangan muda saat itu menganggap keputusan tersebut sangat tidak masuk akal. Santo Valentine termasuk yang menolak melaksanakannya.

Salah satu bentuk penolakan Valentine adalah tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta menikahkan para pasangan yang jatuh cinta, meskipun secara rahasia. Aksi ini akhirnya diketahui kaisar, yang memberinya peringatan. Tapi sang Santo tidak menggubris. Dia tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin.

Sampai pada suatu malam, ia tertangkap tangan sedang memberkati salah satu pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri. Namun, malang bagi Valentine. Dia tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Dia divonis hukuman mati dengan dipenggal kepalanya, pada tanggal 14 Februari. Seperti hari ini.

Kisah kematian Valentine para 14 Februari itu menyebar dan meluas. Para sejoli lanjut usia mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan.

Dan upayanya mempertahankan cinta itulah yang dikenang begitu agung. Menjadi megah karena ada tragedi di dalamnya.

***

TRAGEDI: sebuah situasi yang sebenarnya ingin ditolak oleh sejoli yang kasmaran, tapi justru itulah fondasi yang membangun kemegahan sebuah kisah cinta. Di mana kisah cinta itu pasti akan dikenang.

Tragedi; selalu membuat cinta tumbuh dengan megah dalam sebuah cerita. Selain Valentine, ada juga kisah Romeo-Juliet, Achilles-Brisias, Rahwana-Shinta, Ken Arok-Ken Dedes, Sangkuriang-Dayang Sumbi, dan sederet cerita cinta agung lainnya yang hadir karena membawa tragedi masing-masing.

Mungkin, kisah cinta Djiko Susilo-Dipta Anindita juga nantinya akan menjadi salah satu kisah yang dikenang, karena muncul di tengah tragedi gratifikasi. Seperti kisah Antasari Azhar-Rani Juliani –kalau memang romansa berbuntut petaka itu benar-benar demikian adanya, bukan lantaran rekayasa.

Tapi justru tragedi-tragedi lah yang membuat cinta terdorong untuk tumbuh. Setidaknya itulah tesis ala Lord Gordon Byron, William Shakespeare, hingga Jean Paul-Sartre.

Dari sederet kisah yang kusebut di atas, kentara betul bahwa cinta kian menjadi setelah tragedi hadir di tengah-tengah kisahnya.

Mungkin seperti cintaku pada Los Blancos, yang kian tumbuh menjadi setelah “tragedi” dinihari tadi. Cinta yang aku ejawantahkan dalam harapan; semoga 2nd leg di Old Trafford nanti berakhir dengan skor imbang 2-2 –dan CR7 dkk lolos berkat agresivitas gol tandang.

Tragedi-tragedi yang kerap terjadi di Indonesia kita ini –baik itu soal kemanusiaan, bencana alam, hukum, pemerintahan, pun politik—semoga kian menumbuhkan cinta kita pada Tanah Surga dengan kolam susunya ini.

Selamat Hari Tragedi...
Eh, Valentine ding :)


Selamat 14 Februari

No comments:

Post a Comment