Saturday, February 9, 2013

Maha Mbois di Arjunoku

Tuhan Maha Mbois. Maha Mendengar.


PANJAT gunungku kali ini membawa kebesaran yang keren.

Aku sampai di sini, kali ini, dengan cara yang menurutku "awesome". Sekaligus memperteguh pemahamanku soal Tuhan Maha-Mbois yang senantiasa mencukupi umat-Nya dengan cara yang tak terduga.


Situasi usaha yang sedang menggerutu lantaran tagihan-tagihan yang tak juga tertagih, dan pusing menahun yang masih rutin, tak jua minggat, tetap mengisi pekanku ini. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan.

Dan dalam perhitungan rasioku, akhir pekan ini aku masih harus tinggal di rumah, masih "puasa gunung", seperti tiga pekan yang telah lewat. Alasan mendasarnya; akomodasi. Yah, karena usaha yang sedang tak bersahabat, tak ada budget ekstra untuk transportasi dan akomodasi lain-lain.

Duit hanya cukup untuk menjaga keberlangsungan hidup dan menutup tagihan-tagihan reguler.

Alamat harus aku terima lagi kesepian sendiri di rumah, setelah Bapak satu-satunya temanku selama ini, menengok cucu-cucunya di Ciamis.

Awalnya begitu.

Tapi di tengah situasi yang serba tak mungkin menurut hitungan rasio itu, aku masih menyelipkan sedikit harapan agar aku bisa "menggunung" akhir pekan ini.
Kusimpan dalam-dalam harapan itu, sebagai doa yang tak terucap.

Dan Tuhan itu Maha Mendengar.

Baru saja aku masuk gerbang pagar rumah, sore kemarin, sebuah mobil SUV lama berhenti. Ah, ternyata sepupu dari Pasuruan --Pandaan, tepatnya. Dia baru saja menyelesaikan urusan bisnis di Surabaya.

Kupersilahkan masuk dan kami berdua ngobrol ngalor-ngidul. Lama kami tak bersua.
Melihat situasi rumah yang sepi, mungkin sekadar basa-basi, dia bertanya apa yang akan aku lakukan di akhir pekan tanpa teman ini. Kujawab saja apa adanya; "Tidur. Istirahat."
"Lho, nggak naik Arjuno ta, Mas?" Saudaraku memang tahu betul kebiasaanku semasa kuliah dulu.

Ya aku katakan terus terang soal kondisiku yang sedang bokek, lantaran situasi usaha sedang sulit.

Begitu mendengar alasanku itu, saudaraku --yang usianya dua tahun lebih tua dariku, dan memanggilku "mas" karena aturan pohon keluarga saja (di mana bapakku adalah kakak kandung ibunya)-- tiba-tiba menepuk dahinya.

"Masya Allah, Mas. Hampir aku lupa!" Katanya tiba-tiba.

Aku heran; ada apa?

Oalah... Ternyata ini soal urusan masa lalu yang belum beres, yang aku sendiri bahkan lupa tentang itu.

Lima tahun lampau, sepupuku itu pernah datang padaku. Ketika itu aku masih di Jakarta. Dia datang dalam kondisi compang-camping. Rumah tangga dan ekonominya hancur. Istrinya --yang dia nikahi di usia yang masih sangat muda-- menggugatnya cerai. Dia bingung. Sebagai sepupu yang paling dekat dengannya sejak kecil, aku dijujugnya.
Ketika itu posisi sosial dan ekonomiku sedang berkibar. Uang tak pernah jadi masalah buatku. Dalam galaunya, dia ajukan proposal beberapa juta rupiah yang langsung aku acc waktu itu.

Ya karena mengingat dia sepupu dekat yang sedang remuk saja, dan ketika itu uang selalu datang di rekeningku dari beberapa sumber. Tanpa pikir panjang aku cairkan dana yang
dibutuhkannya.

Waktu itu dia bilang pinjam untuk modal usaha, dan akan dikembalikan dengan mencicil. Aku yang tahu kondisi dia waktu itu, tak terlalu menganggap kesanggupannya. Toh, dia saudaraku. Agak rikuh jika aku membebani dia dengan hutang.

Apalagi Tuhan selalu punya cara sendiri untuk mengganti rezeki kita.

Setelah itu dia pulang ke Pasuruan, dan aku kembali tenggelam dalam hiruk pikuk Ibukota. Kami tak pernah bertukar kabar. Bahkan aku sudah lupa sama sekali soal proposalnya, karena aku tak pernah menganggap itu hutang.

Hingga tiba Jumat sore itu. Aku yang sudah lupa soal uang lima tahun silam, diingatkan kembali oleh si "peminjam", yang tiba-tiba datang begitu saja.

Sepupuku, yang sekarang sudah makmur dengan posisi bagus di sebuah bank, mau mengembalikan uang yang sudah kuanggap hilang itu.

Kendati aku tolak, dia tetap saja memaksa. "Aku akan tetap mengembalikan, Mas. Seperti kataku dulu, aku nyicil." Tentu ucapannya itu candaan. Cicilan yang dia bilang itu adalah bentuk guyonan, karena untuk membayarnya lunas, aku tahu dia sanggup.

Aku juga tahu itu hanya alasan agar selalu terhubung saja. Jangan sampai hilang kontak seperti selama ini. Karena kami tahu, persaudaraan kami lebih mahal daripada uang beberapa juta rupiah saja.

Dan, akhir pekan ini pun aku sampai di Arjuno yang mbois, dengan cara yang tak kalah mbois. "Uang muka cicilan" sepupuku cukup untuk bekal naik gunung. Apalagi, untuk sampai ke sini, aku tak perlu keluar anggaran. Sepupu mengantarku dengan mobilnya, siang tadi, setelah semalam aku "dipaksa" menginap di rumahnya dan dilayani layaknya tamu terhormat oleh istri barunya.

Tuhan memang Maha Keren: selalu memanjakan umatnya dengan cara yang tak terduga.

Dan bersama keheningan sekitaran lereng Arjuno, bersama segenap jiwa ingin kudekatkan sukma pada-Mu, wahai Maha Mbois....


Arjuno: 9 Februari 2013


No comments:

Post a Comment