Wednesday, February 13, 2013

Duh, Anas....


Mendadak serba Anas.




RABU pagi, waktunya Mbak Nur, --pembantu paruh waktu yang biasa datang Rabu dan Sabtu-- datang untuk membereskan setumpuk pakaian kotor dan membebaskan rumah dari debu-debu. Masih seperti biasanya, dengan suaranya yang menggelegar, dia sukses membangunkan aku dengan teriakannya dari luar pagar.

Masih seperti biasanya juga, sebelum memulai kewajibannya, Mbak Nur selalu mencomot koran pagi yang masih terlipat dan tergeletak di balik pagar. Dia selalu sempatkan untuk membukanya.

Dari pantry, kudengar suaranya yang menggelegar itu melontarkan pertanyaan sekaligus pernyataan: ”Anas jadi tersangka kan? Wes jelas ini korupsi. Di tipi-tipi mukanya sampai pucat kayak gitu. Jelas ndak bisa berkutik itu. Habis ini digantung di Monas wes.”

Dari nada suaranya, aku tahu, Mbak Nur sangat berharap Anas jadi tersangka. Mungkin juga berharap mendapat tontonan gratis berupa orang digantung di Monas untuk pertama kalinya.

Aku yang sedang sibuk memasak air dan meracik kopi, hanya menjawab sekenanya; “Nggak tahu, Mbak. Yang jelas Juventus menang telak di kandang Celtic.”

“Opo iku?” tanyanya.

Rupanya karut marut Demokrat lebih menarik perhatiannya daripada gemuruh Europe Champions League. Sayang sekali.

***

BEGITU Mbak Nur mulai menjamah pakaian kotor, aku nyalakan komputer. Biasa, memulai aktivitas. Aku kepingin merokok. Yah, tinggal sebatang. Lalu aku keluar ke warung depan, warungnya Cak Yo.

“LA, Cak”.

“Waduh, lupa aku, Cak. Belum kulakan. Yak opo?” jawabnya spontan.

“Terus, adanya apa?”

“Kalau mild, tinggal Sampoerna. Mau ta?”

Daripada harus berjalan lebih jauh ke Indomaret, ya aku iyakan saja. Sebenarnya aku kurang sreg. Entah kenapa, untuk seleraku, racikan rokok ala Djarum lebih “kena”, sementara racikan Sampoerna yang sudah “dirusuhi” sama Philip Morris itu, menurutku, nanggung. Rasanya agak banci.

Tapi, ya sudahlah. Daripada mulut pahit tanpa nikotin.

Sembari mencari rokok yang aku mau, Cak Yo –pria yang hanya beberapa tahun di atasku, yang lengan kanan-kirinya penuh tato itu—“mengomel”.

”Harusnya cepat digantung  saja itu si Anas. Berkelit terus percuma. Wong maling iku yo maling!” rutuknya.

Aduh, Anas lagi.

“Yo gitu kan, Cak?” Cak Yo minta persetujuanku soal pendapatnya, sembari menyerahkan sebungkus rokok yang aku mau.

Embuh, Cak. Sampean iku ribut aja sama Anas, sampai lupa kulakan LA,” selorohku, dengan sedikit nada protes.

“Hehe… Yo itu lho, Cak. Muales aku lihat mukanya yang sok nggak berdosa. Sok suci. Kelakuannya itu nggilani (menjijikkan).” Haduh… Masih diterusin.

“Sampean tahu dari mana Anas pasti salah?” mau tak mau akhirnya aku kepancing.

“Ya katanya di koran-koran sama tipi itu.”

Bagus…..

Teori peluru bekerja dengan baik membidik kaum yang tak mengenyam pendidikan tinggi. Berita soal sprindik yang bocor, pengambilalihan wewenang sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, ocehan Nazaruddin, yang disajikan berulang dan terus menerus sukses membangun fakta “Anas Urbaningrum adalah koruptor” untuk  orang-orang seperti Mbak Nur dan Cak Yo.

Orang-orang yang kemudian menghujat ketika proses hukum masih berjalan.

”Yowes lah, Cak. Sak karepmu.”

“Aduh, jangan-jangan sampean bolonya Anas?” Cak Yo berseloroh, menaik-naikkan alis, tentu saja maksudnya guyon.

“Aku bolonya Jose Mourinho, Cak,” jawabku sekenanya, lalu ngeloyor pulang.

Duel Real Madrid-Manchester United malam nanti, bagiku, jauh lebih menarik daripada lakon Anas Urbaningrum dengan slogan “Politik Para Sengkuni” dan “Ojo Dumeh”-nya itu.

Pas sampai di depan rumah, tukang roti keliling pas sampai. “Dari mana, Mas, pagi-pagi sudah ngeluyur,” sapa tukang roti langgananku itu.

“Nyari rokok, Pak. Semalam lupa beli.” Lalu aku buka gerobak berisi roti, mencari roti arembol –semacam bolu berisi krim karamel—kesukaanku.

Pas aku sedang mencari-cari si kue favorit, Pak Roti tiba-tiba bertanya; ”Anas itu enaknya diapain ya, Mas? Suwe-suwe nggatheli (lama-lama menjengkelkan).”

Haduh! Anas lagi….

“Kalau roti arembol ini enaknya dicelupin kopi krim, Pak.” Pak Roti tampak kebingungan dengan jawabanku yang nggak nyambung.

Setelah kudapat yang aku cari, kubayar, dan masuk ke rumah.

***

DI dalam rumah, di sela mencuci, kulihat Mbak Nur masih sempat membuka surat kabar. Dia menyimak lanjutan berita utama di halaman sambungan. “Ya kan, Mas. Pasti korupsi Anas ini. Wes, gak bisa ngeles lagi.”

Entah apa yang ditulis wartawan di koran yang dibaca Mbak Nur itu, sampai dia langsung menyimpulkan. Aku sendiri belum menyimak koran hari ini.

“Yawes, suka-sukamu aja lah, Mbak.”

Langsung kupasang headshet di kuping. Kuputar mars pembuka hariku; "Three Little Birds:

Don’t worry about the things, every little things gona be allright.




No comments:

Post a Comment