Friday, February 15, 2013

Politik Tahu


Setelah misi gagal.



AKU memaksa mandi di tengah cuaca dingin. Tanpa sarapan, aku bergegas pamit pada temanku. Aku harus cepat-cepat kembali ke Sidoarjo, setelah misi di Solo ini resmi gagal.

Membawa harapan baru pada Surabaya, untuk sebuah tanggungjawab yang sepertinya sulit aku selesaikan.

Temanku yang baik hati itu mengantar ke tepi jalan raya Solo-Surabaya, wilayah perbatasan Karanganyar-Sragen. Jalur utama bus antar kota antar propinsi melintas. Apapun bus jurusan Surabaya yang melintas, aku akan langsung naik. Karena terburu waktu.

Lha kok kebetulan, Sumber Selamat lah yang langsung melintas. Metamorfosa dari Sumber Kencono –bus yang menjadi bagian romantikaku di masa lalu, ketika aku masih jadi mahasiswa.

Tapi, memang kuakui, beberapa tahun belakangan, kebijakan manajemen Perusahaan Otobus (PO) Sumber Kencono itu memang pro-penumpang. Mereka memilih produk Hino untuk seluruh armada mereka, baik untuk Sumber Kencono sendiri maupun dua turunannya; Sumber Selamat dan Sri Rahayu.

Jenis armada ini memang lebih nyaman; longgar dan goncangannya tak begitu kerasa. Jelas beda dengan armada Mercy yang dipilih manajemen terdahulu, saat aku masih mahasiswa, ketika sering mengocok penumpangnya lantaran suspensinya keras abis.

Satu-satunya khas bus ini yang tak berubah adalah sopirnya yang ugal-ugalan. Tapi, justru karena itulah aku memilihnya, agar lekas-lekas sampai Surabaya.

Kudapatkan tempat duduk favoritku; deretan paling belakang, sebelah pojok kiri, dekat pintu. Ya, selain aku selalu merasa nyaman duduk di bagian ini, sekaligus buat jaga-jaga. Aku bisa langsung melompat keluar bus jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan; yang kerap terjadi pada Sumber Kencono grup lantaran gaya mengemudi sopirnya.

Sekaligus tempat yang menurutku paling nyaman untuk mencuri-curi waktu tidur, setelah begadang semalam suntuk.

***

BUS sempat berhenti di daerah Mantingan, Ngawi, menurunkan penumpang. Di saat bersamaan, seorang pedagang asongan yang menawarkan tahu goreng, kacang, permen, air mineral dan minuman bersoda naik. Dia mulai berkeliling menawarkan dagangannya.

Tak ada satupun dari sedikit penumpang yang meresponnya. Padahal sudah dua kali dia bolak-balik dari depan ke belakang, pun sebaliknya. Hingga akhirnya dia terlihat capek, dan duduk, mengambil tempat di sampingku yang kebetulan lapang lantaran bangku belakang kosong melompong –hanya ada aku yang duduk di situ.

“Sepi…” katanya, dengan nada keluh yang kentara.

Aku yang kebetulan belum sarapan, tertarik dengan tahu-tahunya. Sepertinya penganan itu tampak hangat, masih aktual dan layak konsumsi.

“Tahunya berapaan, Mas?”

“Dua ribu Mas. Lima ribu tiga. Masih hangat.” Dia berpromosi.

Aku ambil selembar limaribuan, kembalian dari kondektur, dan mengambil tiga tahunya. Hmmm… Dia bohong aku rasa. Gigitanku menjelaskan bahwa tahunya itu sebenarnya tidak aktual. Mungkin sisa kemarin yang dihangatkan lagi.

Rasa tak pernah bohong.

“Pelaris, pelaris….” Dia kibaskan uang limaribuan dariku, disapu-sapukannya di atas dagangannya. Syarat untuk “pelarisan” yang umum dilakukan pedagang kecil sepertinya.

“Sulit juga jual asongan. Tapi mau bagaimana lagi,” tiba-tiba dia menyeletuk.

“Kenapa Mas….,” tanyaku.

“Sepi Mas. Kemarin malah cuma laku laku lima.” Nah, terjawab sudah kecurigaanku soal aktualisasi tahunya.

“Kalau saja saya ndak ditipu sama orang partai itu, tentu saya ndak perlu repot-repot kayak gini Mas.” Eh, dia malah mau curhat. Tapi, frase “ditipu orang partai”  itu menarik perhatianku.

“Kok bisa?” tanyaku untuk memancingnya meneruskan.

Dan, bersama liak-liuk sopir gila Sumber Selamat menyusuri lereng utara Gunung Lawu di daerah Mantingan, Mas Tahu pun bertutur:

Sebelum jualan tahu, dia adalah kepala gudang sebuah perusahaan makanan di Solo. Perusahaan yang, katanya, pelit pada karyawan. Enam tahun dia bekerja di situ. Dia juga dipercaya sejawatnya sebagai ketua Serikat Pekerja di perusahaan itu, yang baru dijabatnya sejak enam bulan sebelum dia keluar.

Lalu tibalah ontran-ontran tuntutan kenaikan upah minimum kota/kabupaten, akhir tahun lalu. Mas Tahu menerima keluhan dari rekan-rekannya soal gaji yang terlalu mepet. Dia diminta untuk mengkoordinir anggota serikat pekerja agar turut serta dalam demonstrasi besar-besaran yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia.

Mas Tahu bingung, karena dia belum punya pengalaman mengorganisir teman-temannya untuk aksi dalam skala besar. Dia masih awam berpolitik aksi. Tapi desakan dari kawan-kawannya agar terus bergerak membuatnya harus sesegera mungkin mengambil keputusan strategis.

Di tengah kebingungannya itulah, datang seorang fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang sebuah partai politik yang mengaku membela wong cilik, seperti Mas Tahu dan konco-konconya. Oleh orang parpol itulah Mas Tahu mendapat suntikan pengetahuan bagaimana cara menggerakkan massa ala Marxis –paham yang sebelumnya tak diketahui oleh Mas Tahu.

Si orang partai bersedia membantu mengorganisir teman-temannya. Dan Mas Tahu yang awam politik pun terpesona dengan usulan “mogok kerja” kalau tuntutan tak dipenuhi. Sepertinya itu gagah banget.

Tapi lama-lama mas tahu tampak rikuh. Karena kalau dipikir-pikir, metode itu bisa membahayakan posisinya. Dia harus head to head dengan manajemen induk perusahaan.

Kalau gagal, dia bisa dipecat, dan dia kehilangan nafkah. Tapi, kalau tidak dicoba, dia akan dimusuhi teman-temannya.

Hingga akhirnya datanglah iming-iming dari orang parpol itu, “Kalau kamu dipecat, partai mau menampungmu. Kamu layak masuk partai karena sudah berhasil menggerakkan kawan-kawanmu untuk bergerak. Dapurmu aku jamin bakalan tetap mengebul.” Tawaran yang memompa semangat Mas Tahu untuk “melawan memperjuangkan hak rakyat kecil”. Seperti slogan partai itu.

Singkat kata, unjuk rasa di perusahaan tempat kerja Mas Tahu berlangsung rusuh. Aksi yang disponsori partai, tapi dipimpin orang tak berpengalaman. Bahkan kejadian di perusahaan itu sempat jadi santapan konsumen media lokal. Tapi pada akhirnya, Mas Tahu kalah. Perusahaan berhasil mengendalikan situasi dengan tawaran yang dia sendiri tak tahu. Yang jelas, Mas Tahu dan lima temannya yang dituding sebagai biang kerusuhan dipecat.

Sementara janji orang partai itu hanyalah angin lalu. Ketika Mas Tahu yang dipecat datang ke kantor DPC untuk menagih apa yang pernah dijanjikan padanya, jawaban yang dia terima adalah; “Kamu ndak layak masuk partai. Wong kamu gagal memenangkan kawan-kawanmu.”

Demi dapur keluarganya, jadilah Mas Tahu jualan asongan di bis.

Dan berjumpa denganku di bus Sumber Selamat itu.

***

MEMINJAM istilah Iwan Fals, aku hanya terdiam sambil kencing diam-diam mendengar cerita Mas Tahu. Dia tertipu bujuk rayu politik praksis.

Dengan pengetahuan politiknya yang nihil, Mas Tahu mencoba berpolitik praksis dengan jalan keras, hanya karena mendapatkan iming-iming orang partai.

Namun, menurutku, wajar Mas Tahu bisa seperti itu. Karena, kemungkinan besar Mas Tahu tak pernah “berdialog” dengan Cicero --yang selalu memperingatkan bahwa “mimpi buruk politikus itu adalah berkata jujur”.

Mas Tahu tak mawas diri karena fondasi pengetahuannya hampa. Karena, mungkin saja, yang dipikirkan Mas Tahu adalah bagaimana cara mencukupi kebutuhan dapur di rumahnya dan naik gaji. Karena itu, dia tidak pernah punya waktu untuk belajar politik, karena pikirannya tersita urusan dapur.

Tanpa disadarinya, keinginan naluriahnya sebagai manusia itu dijadikan tunggangan politik praksis. Omongan orang partai dipercaya.

Benar apa Aristophanes katakan; “under every stone lurks a politician”. Di bawah setiap batu politisi selalu mengintai. Mencari kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan partai yang praksis.

Tentu dia tidak paham, bahwa upaya orang partai untuk menghasutnya itu adalah salah satu agenda Dewan Pimpinan Pusat yang jamak diterapkan di daerah untuk mengukur seberapa besar pengaruh mereka. Untuk ”test drive”, mencoba sejauh mana bisa “mempengaruhi massa dengan bujukannya.” Menunggangi serikat pekerja atau masyarakat miskin untuk show of force.

Dari sudut pandang agenda itu, orang partai yang bohong pada Mas Tahu sukses menjalankan agenda politiknya.

Tapi dari sisi Mas Tahu? Oalah, Mas Tahu, Mas Tahu….

***

TERLEPAS dari definisi praksisnya, politik memang hidup di tengah kehidupan. Politik, menurut definisi paling elementer ala Aristoteles, adalah sebuah upaya manusia untuk mencapai tujuan.

Hidup itu adalah politik, dan politik adalah kehidupan. Setiap manusia berpolitik.

Dalam hidup ini banyak tujuan yang kudu dicapai. Terutama yang namanya cita-cita atau keinginan. Untuk mencapainya itulah manusia “berpolitik”, mencari metode yang paling tepat untuk meraih yang diangankan. Ada politik ekonomi, politik bisnis, politik sosialiasi. Semua punya tujuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Mengkonversi angan jadi kenyataan.

Dan seperti politik praksis, kadang politik individu manusia itu menemui hambatan-hambatan. Dan hambatan itu akan kerasa semakin besar ketika politik privat itu mengajak politik partai yang praksis untuk turut campur di dalamnya. Ruwet.

Berpolitik, tanpa fondasi pengetahuan yang cukup, baik individu pun praksis, akan menjadi sebuah upaya politik yang gembos. Seperti tahu yang dijual Mas Tahu.

Seperti politikku menjalankan ”misi” di Solo, yang gagal karena kurangnya pengetahuanku.

Ah, biar Mas Tahu gagal berpolitik, setidaknya pagi ini dia berjasa padaku; tahunya membantuku mengganjal perut, kendati penganan itu tak lagi aktual. Aku, mungkin juga beberapa orang lainnya, yang belum sempat sarapan lantaran tergesa-gesa memburu angan-angan yang kian rewel, lalu menempuh jalan “politik tahu”, yang berakhir dengan; “Oalah……”


No comments:

Post a Comment