Thursday, February 7, 2013

W: Story of Drugs, Story of Life

Dia adalah bandar narkotika yang menyumbang untuk panti asuhan.



BAIKLAH, sebagai manusia hidup yang harus tunduk kepada etika dan norma, aku setuju bahwa nyaris mustahil bisa menemukan pembenaran –kendati itu secuil-- untuk cara yang diambil W untuk melakoni hidup. Ditelisik dari dimensi manapun, tak ada pembenaran yang mau berpihak pada seorang bandar narkoba.

Benar, memang tak ada pembenaran yang pantas untuk bandar barang haram sebagai status, yang disandang W hingga mati di usia muda. Tapi, sebagai orang yang pernah dekat dengannya kala remaja, aku punya pendapat bahwa, sebagai manusia yang punya tujuan, W pantas disebut istimewa.

Hal itu adalah konsistensi dan usaha luar biasanya untuk mengkonversi mimpinya menjadi kenyataan.

Aku rasa, tak banyak orang yang bisa mendapati sisi ini. Memang wajar ketika kebanyakan manusia lebih suka melihat keburukan pada diri orang lain. Tapi, aku punya cara pandang sendiri --yang sangat aku percayai—soal cara memandang individu yang utuh: pasti ada sisi baik pada diri seseorang, kendati hanya sepercik.

Dengan cara itulah aku melihat W.


***

W yang aku kenal ketika SMA dulu adalah figur remaja borjuis kota kecil. Tanpa bermaksud merendahkan anugerah fisiknya, tapi menurutku, susunan tulang, daging, dan kulit tubuh sosok W ini "serba sangat"; sangat kurus, sangat kecil untuk standar remaja pria --tingginya sekitar 155 sentimete--, dengan warna kulit yang sangat gelap. Status sosialnya juga begitu sangat, di mana dia adalah buah hati sepasang orangtua yang sangat kaya.

Kalau hanya melihat "sampulnya", predikat tajir ibu bapaknya memang sama sekali tak muncul. Lebih mirip bocah udik, setidaknya begitulah standar generalisasi yang sejauh ini masih diamini banyak orang ketika menilai orang dari bentuk fisik.

Tapi ketika mendapati dia dan Honda Tiger hitam mengkilap yang selalu ditungganginya ke mana-mana --yang di tahun 1996 Honda Tiger disebut sebagai motor istimewa yang sedang di puncak kedigdayaan, layaknya Kawasaki Ninja 250 empat tak di masa ini-- samar-samar mulai terlihat bagaimana kenyataan ekonomi keluarganya yang serba lebih.

Baru samar-samar, karena motor mahal itu masih belum cukup untuk meyakinkan beberapa orang soal status kepemilikannya. Banyak orang yang berpendapat W adalah anggota sebuah keluarga biasa di daerah pinggiran kota kecil yang sedang meminjam motor bagus milik temannya yang kaya. Kesan itu biasanya muncul pada persepsi orang yang baru melihat W untuk pertama kalinya. W dan Tigernya adalah sebuah kontras yang sulit ditoleransi.

Dan aku adalah satu dari banyak orang yang melihat jelas kekontrasan itu, pada awal mula kami bertemu.

Nah, ketika melihat sendiri isi dompet dan rumah mewah-megah tempatnya tinggal bersama orangtua dan dua kakaknya, mau tak mau aku harus mengakui bahwa persepsiku di awal perjumpaan kami itu adalah "fitnah ". Sekaligus kian mengamini ke-Maha Adil-an Tuhan; yang konsisten melampirkan atribut plus-minus, yang diam berdampingan di dalam diri juga kehidupan setiap individu.

Lingkungan tempat W hidup sejak orok merah hingga tumbuh menjadi remaja hitam legam itu rupanya berhasil meyakinkan bawah sadarnya, agar membentuk bahasa tubuh yang selalu berhasil memancing orang asing melakukan kekerasan fisik atau psikologis padanya. Gestur W membahasakan lagak lagu yang bikin risih. Bahasa gaulnya songong. Belagu.

Itu adalah sikap khas orang-orang borjuis di kota minimalis kala itu --di mana jumlah golongan ini masih jarang. Golongan eksklusif yang merasa berhak "semau gue",  mentang-mentang hidup dengan jaminan beberapa rekening yang tak bakal habis dihamburkan selama tujuh turunan --dengan catatan nilai tukar rupiah tidak pernah diamputasi oleh badai resesi ekonomi Asia 1997 yang dilengkapi gemuruh reformasi setahun setelahnya.

Gara-gara kesan kurang enak itu, kerap dia harus jadi korban kekerasan fisik –biasanya dari orang yang belum mengenalnya. Sebab, umumnya remaja pria sebaya di kota kami, dengan darah yang sedang panas-panasnya, mempersepsikan W sebagai anak muda yang harus “dipermak” secara rutin. Atau, jika menggambarkannya dalam khasanah majas ironi yang paling sarkas, sikap W ini adalah salah satu bentuk masokisme sosial; selalu minta disakiti melalui gestur, dan itu terus menerus berulang, seolah dia menikmatinya.

Walhasil, stimulus bahasa tubuh yang digerakkan bawah sadarnya itu membuat W jadi akrab dengan lebam, memar, atau mimisan. Mungkin itu nasib sial dia, karena kebetulan kala itu kami hidup di sebuah kota, di mana remaja prianya menganggap kekerasan fisik adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kepuasan dan pengakuan. Masyarakat berisi pendekar-pendekar canggung dengan ilmu silat tanggung yang gemar tawuran.

Tapi, W dan dompetnya punya cara yang efektif untuk menghentikan “teror” kekerasan yang selalu menghantuinya. Sebagian jatah duit jajan dari orangtuanya --yang dalam ukuran remaja kala itu besarnya keterlaluan-- dialokasikannya untuk membeli preman-preman tanggung --alumnus pendekar tanggung yang putus sekolah dan menganggap hidup hanya untuk makan, merokok, dan mabuk, yang mana itu bisa dicukupi dengan mengandalkan bogem, senjata tajam, dan beberapa jurus silat elementer.

Kala itu, jenis manusia suram seperti itu bisa ditemui dengan mudah di sepanjang tepi jalan seluruh penjuru kota. Beberapa puluh ribu rupiah yang keluar dari dompet W sudah cukup menjadi bahan mereka untuk bergerak dan membalasakan lebam-lebam di muka W.

Sejak memelihara preman itu, lebam mulai jarang menghiasi wajahnya.

Namun, W sebagai sosok menjengkelkan itu hanyalah persepsi orang-orang di luar lingkaran interaksinya. Ketika seseorang mulai masuk dalam lingkaran internalnya, dia akan mendapati W sebagai “orang asing”,  sama sekali tak seperti yang dikenal dari luar. Antipati bisa berbalik arah menuju simpati. Setidaknya begitulah perubahan persepsi soal dua sisi W, menurutku.

Sebagai seorang teman, W adalah figur yang tahu bagaimana cara berteman. Dia suka membaur, kendati statusnya adalah satu dari sedikit anak orang kaya di sekolah kami yang didomimasi remaja kalangan menengah. Sikap ini jelas beda sekali dengan remaja-remaja tajir lain di sekolah kami –yang kebanyakan berdarah keturunan—yang biasanya membentuk kelompok ekskulisif dan jadi sasaran empuk preman-preman sekolah.

W suka berbagi. Setiap temannya pernah merasakan enaknya sebagian materinya yang berlimpah. Yang membuat aku merasa bersalah, kesan belagu --persepsi gestur W yang pernah aku percayai-- itu ternyata suuzon.  Karena dalam lingkup pertemanan, dia memfungsikan duitnya untuk berbagi, bukan membeli kawan. W dia bukan tipikal caleg yang sedang berkampanye; yang berbagi demi investasi konstituen.

Aku tak pernah melihat agenda terselubung dari distribusi uang W. Ada yang butuh, dia kasih. Ada yang lapar, dia traktir. Di kalau waktu istirahat, dia berkumpul dengan teman-teman dan menaruh rokok Marlboro merah yang selalu dibelinya sebungkus di depan kami -- ketika kami yang umumnya hanya mampu menikmati Gudang Garam Internasional eceran ingin merokok tapi tak ada anggaran.

Tentunya, sejauh bagi-bagi rokok itu tak terpergok guru bimbingan dan penyuluhan, atau bakal didudukkan dan mendengarkan ceramah monoton soal kepatutan yang berulang-ulang. Dengan bumbu ancaman tinggal kelas atau drop out. Dan terus terang, sampai sekarang aku tak tahu apa dasar “fatwa haram” rokok yang diterapkan di semua sekolah itu,

Selain adu jurus silat, remaja di kota kami juga memiliki kebiasaan buruk lain dalam upayanya mendapat pengakuan; mabuk alkohol. Dan memang, sampai sekarang pun kota kami masih kondang dengan araknya --minuman beralkohol racikan tradisional, modifikasi tangan-tangan yang tak pernah mengenal persenyawaan kimiawi, sehingga komposisinya malah lebih dari sekadar alkohol, menjurus methanol.

Seharusnya itu tak layak masuk tubuh, sebab organ dalam tentu jadi korban daya rusaknya. Tapi, herannya, banyak anak muda suka meminumnya demi “menjelahahi wahana rekreasi halusinasi”.

Aku, W, dan tiga kawan lain yang tergabung dalam band sekolah  juga termasuk dalam kelompok remaja bodoh itu. Kami sering menikmati tipuan kenikmatan methano. Biasanya kami bersulang sebelum dan sesudah latihan musik di studio sekolah tiap petang di tengah pekan, atau dalam sebuah "forum" yang dibuka malam akhir minggu –setelah semua pesertanya menyelesaikan urusan wajib dengan pacar masing-masing.

Mabuk selalu membuat kami merasa nikmat, kala itu. Mungkin itu cara remaja kami --salah satu tahap pertumbuhan manusia yang diberi judul "pencarian identitas"-- yang selalu merasa terkekang etika dan ingin berontak dari tradisi yang kolot. Biasa, darah muda darahnya para remaja, kata Bang Haji.

Sayangnya, kebanyakan remaja memilih jalur pelarian yang salah, karena keputusan terburu-buru yang diambil nalar yang belum matang. Seperti kami waktu itu. Dan kebiasaan gemar melepaskan imajinasi terbang bebas ke mana dia suka itu membuka peluang seluas-luasnya untuk masuknya obat-obatan terlarang, yang sebelumnya adalah benda asing di kota kecil kami.

***

WAKTU itu tahun 1996, masa ketika sebuah kebiasaan baru hadir dalam dunia remaja kami; ketika ganja, putaw, dan sabu-sabu dari Jakarta datang dalam satu paket, yang masuk kota kami melalui jalur distribusi Yogyakarta. Sepertinya bagian pemasaran barang-barang itu sangat jeli melihat potensi pasar yang sangat menguntungkan di kota kami, yang diisi banyak anak muda penyuka “terbang bersama halusinasi”.

Sales zat-zat penghantar nikmat sesaat itu juga sepertinya “orang-orang pilihan” di dunia marketing. Mereka proaktif mempromosikannya, bahkan sampai masuk ke sekolah-sekolah. Untuk ukuran kala itu, tawaran para pengedar ini memang sulit ditolak. Dengan bahasa pemasaran yang lancar dan sangat merajuk –mungkin efek dari rasa percaya diri narkoba yang dikonsumsi—mereka berhasil menggaet pelanggan potensial dengan menyuplai barang gratis pada mereka selama tiga kali pasokan. Semua kalangan pemabuk, dari yang kere, pas-pasan, maupun tajir, berhak untuk menikmatinya.

Dan, dalam kebodohan masa remaja, kami segrup band sekolah itu juga tertarik mencicipi sensasi yang lebih dahsyat dari barang baru itu. Tentunya selama dalam masa promosi saja, karena empat personel band kami adalah remaja-remaja kalangan menengah –termasuk aku. Cuma W yang kaya.

Dan setelah jatah promo habis, ya harus beli. Nah, saat itulah baru kentara bahwa pasar narkoba mengerucut lebih eksklusif, dengan sasaran borjuis-borjuis kecil yang butuh menunjukkan kelebihan eksistensi mereka dibandaing remaja biasa.

Dari lima anggota band kami, tentu hanya W yang bisa tetap menikmati buaian ganja, konfidensi putaw, maupun agresivitas sabu secara rutin. Sedangkan untuk aku dan remaja biasa lannya hanya bisa menelan ludah dan mencari pelarian dengan “balikan” dengan alkohol rasa methanol. Pasalnya, saat itu banderol Rp 25.000 adalah yang paling murah untuk barang-barang itu, atau yang biasa disebut “paket hemat”. Angka yang cukup tinggi bagi kami anak-anak tanggung –ketika rupiah masih kokoh pada nilai tukar Ep 2.500 untuk tiap dollar Amerika.

Tapi, seperti yang telah kujelaskan di atas, W memang senang berbagi. Dan kebiasaan itu juga terbawa pada tataran konsumsi narkotika. Sadar kalau dari kami berlima hanya dia yang sanggup membelinya, dia memutuskan untuk mengajak kami menikmati kesenangan ilusi bersama, gratis. Tentu saja kami tak bisa menampik tawaran yang kala itu tak bisa kami tolak itu.

Dan bersama fasilitas yang ditanggungnya penuh, W pun membawa kami masuk sangat dalam dalam dunia gelap narkotika. Kami pun dengan sendirinya terbentuk sebagai kelompok eksklusif di sekolah. Anak band idola para wanita, di mana aksi kami adalah momen yang paling ditunggu tiapkali sekolah punya hajat dengan membangun panggung.

Terus terang, W yang dalam grup kami berposisi sebagai vokalis, menjalankan perannya dengan sempurna. Oh iya, ada kelebihan W lainnya yang belum sempat kusinggung di atas; karakter vokalnya memang istimewa, mirip-mirip dengan pentolan Metalicca, James Herzfield.  Dan Metalicca memang band idola kami, di mana lagu-lagunya kerap kami bawa ke atas panggung.

Sementara aku sendiri mendapat jatah untuk membetot bass –yang sebisa mungkin kubawakan dengan gaya Jason Newsteed, basist Metalicca kala itu sebelum digantikan David Trojillo sampai sekarang. Tapi, maaf, aku rasa aku gagal menyadurnya. Dan “subsidi suplemen” dari W membuat kami kian pede di atas panggung.

Kami bahkan sempat membuat banyak orang geleng-geleng. Sepertinya kami ini tak pernah kehabisan tenaga. Selain main musik, kami berlima juga punya kegiatan lain di sekolah, di mana antara aku, W, dan yang lainnya beda satu sama lain.

W memilih untuk ikut kegiatan kelompok sains. Dalam hal mengoptimalkan kinerja otak kiri, kemampuan W patut diacungi Jempol, dan itulah satu lagi kelebihannya. Sementara aku yang selalu tertarik dengan upaya membumikan imajinasiku dalam tulisan, dan seorang kawan lagi yang hobi membidik momen-momen dengan kejelian mata dan kameranya, memilih untuk menggawangi majalah dinding. Sementara dua lagi asyik berpetualang bersama kelompok Pramuka.

Jika boleh mengemukakan sedikit dalih, tanpa bermaksud mencari pembenaran, pengaruh zat adiktif itu justru mendorong kami untuk terus berkegiatan positif. Kami tak tertarik lagi dengan tawuran, layaknya “hobi” remaja sebaya kami waktu itu. Tapi, yah, walau bagaimanapun, dalih apapun tak bisa menjadi pembenaran untuk penggunaan narkotika.

Aku pun paham itu.

***

PERSAHABATAN kami pun digiring waktu. Memasuki kelas III SMA, atau sekarang disebut kelas XII, kami mulai menentukan jalan untuk membangun tujuan masing-masing selepas masa sekolah nanti. Aku memilih masuk kelas IPS untuk mengeksplorasi pengetahuan sosial dasarku demi angan-angan menjadi seorang wartawan atau penulis, sementara W memilih kelas IPA untuk semakin mempertajam otak kirinya.

Di masa-masa itu juga kami harus mengakhiri kebiasaan buruk. Karena, serapi-rapinya kami menyimpan kebohongan dari orangtua, pasti akhirnya terendus juga.

Dalam waktu dan ruang yang terpisah, kami berlima bertemu dengan momen yang menyadarkan kami bahwa narkotika harus ditalak. Orangtua kami masing-masing mulai mencium kebiasaan buruk kami, satu persatu. Dan dengan metode masing-masing, para orangtua menempuh segala upaya untuk melepaskan anaknya dari jerat barang mematikan itu. Ada yang dengan kekerasan, tapi juga ada yang persuasif.

Dan orangtuaku memilih cara yang kusebut terakhir, kendati sebelumnya aku harus mengalami pengalaman luar biasa, di mana salah satu kakiku serasa sudah mulai menginjak alam lain akibat overdosis. Mereka menyentuh afeksiku, dan karena itulah aku memutuskan untuk stop.

Orangtua W pun memergoki kebiasaannya. Tapi cara kekerasan yang mereka ambil. Bisa jadi karena itulah, menurutku, W justru enggan berhenti. Dia memberontak.

Ketika aku dan tiga kawan lainnya sudah mulai meninggalkan zat-zat setan itu, W kian menjadi. Metode pemotongan jatah uang saku dari orangtuanya –dengan harapan W tak akan bisa membeli narkotika jika jatahnya dipangkas—tak berpengaruh pada W.

Untuk terus menyambung kebutuhannya, yang sudah masuk dalam taraf ketergantungan itu, dia nekat untuk menjadi anak buah salah satu bandar besar di kota kami, yang kebetulan kenal dekat dengan W. Dia pasok narkotika ke sekolah-sekolah. Dengan begitu, dia mendapat bagi hasil, di mana W memilih narkotika sebagai bagiannya. Karena dia tak butuh uang.

Nyaris beberapa kali dia tertangkap polisi. Pernah suatu hari satu mobil patroli polisi tiba-tiba datang ke sekolah kami setelah mendapat informasi di situ adalah pusat peredaran narkoba di kalangan remaja usia sekolah. Setiap siswa yang dicurigai digeledah satu persatu dan diinterogasi. W tentu yang terdepan.

Tapi, kecerdasan W memang layak diakui. Dalam menjalankan peran sebagai pengedar, dia cukup rapi dalam menyembunyikan barang bukti. Dalih-dalihnya menjawab pertanyaan interogatif guru BP pun polisi berhasil meyakinkan bahwa dia tak terlibat. Dan polisi pun pergi dari sekolah kami tanpa membawa hasil.

Dan seluruh personel band kami satu persatu mulai memisahkan diri, setelah tongkat estafet kegiatan bermusik itu beralih pada adik kelas. Masing-masing konsentrasi pada kehidupan masing-masing selepas dari jerat narkotika. Hanya W yang tetap konsisten ‘make’. Dia yang memulai, dan dia tak mau mengakhiri.

***
PADA suatu petang jelang ujian akhir sekolah, selepas aku menyelesaikan mading terakhirku yang hendak turut serta dalam ajang kompetisi tingkat provinsi, aku bertemu W yang kentara betul sedang “tinggi-tingginya”. Pertemuan tak sengaja kami itu terjadi di dalam lingkungan sekolah. Tanpa sengaja kulihat dia memasuki laboratorium sekolah. Dia berhasil mendapat kuncinya setelah menyuap penjaga sekolah dengan sebungkus rokok Dji Sam Soe kretek.

Kuikuti dia dari belakang. Dia tampak sedang asyik mengutak-atik sesuatu dalam tabung reaksi. Penasaranku pun terpantik. Kudekati dia. Dan ketika kutepuk pundaknya dari belakang, spontan tabung reaksi yang diamatinya itu jatuh dan semburat bersebar di lantai.

“Apa yang kami lakukan?” tanyaku tak mempedulikan keterkejutannya.

“Ah, damput! Ternyata kamu.” Lalu dia membenahi pecahan tabung itu. Dia melakukannya dengan konsentrasi tingkat tinggi. Dan dari situ aku tahu, ada metaphetamin yang sedang bekerja dalam otaknya.

Kutunggu dia sampai selesai.

“Eksperimen.” Begitulah dia respon pertanyaanku setelah memastikan tak ada lagi bekas pecahan tabung.

“Untuk?”

“Aku mau membuat sendiri putaw dan sabu. Aku sudah tahu bahan dan caranya. Makanya, di sini aku eksperimen,” paparnya, lalu menyeringai aneh.

“Lalu, buat apa? Kamu tak ingin berhenti?”

“Berhenti? Aku sudah terlalu jauh. Terlanjur basah. Semua orang sudah mengenalku sebagai pemakai dan pengedar. Sulit untuk mengubah cara pandang orang itu. Daripada berhenti tapi tetap dicap seperti itu, mendingan aku tetap seperti itu, tapi dalam level yang lebih tinggi.”

“Bocah edan! Lalu, bagaimana dengan hidupmu ke depan nanti? Masa depanmu akan suram!” sebagai kawan, aku merasa masih perlu memperingatkannya.

Tapi, jawabnya malah berupa pertanyaan balik; “Sekarang aku tanya, kenapa kau serius dengan madingmu, sampai hampir malam seperti ini kau baru selesai?”

“Aku suka kegiatan itu. Kamu tahu sendiri aku suka menulis dan ingin jadi penulis. Itu memberiku kesenangan dan mendukung cita-citaku.”

“Ya sudah, posisi kita sama. Aku eksperimen ini karena aku suka narkotika dan ingin jadi produsen, tak hanya bandar. Itu cita-citaku dan narkotika bisa memberiku segalanya, tak hanya kesenangan seperti yang kamu maksud itu.”

Dalih itu tak pernah kuduga bakal terlontar darinya. Tak kusangka W senekat itu. Tapi, ah, mungkin itu jawaban emosionalnya di bawah pengaruh narkotika. Dan percuma aku melanjutkan dialog itu.

“Yah, terserah kamu lah.” Lalu kutinggalkan sendiri W yang sedang berupaya “meraih cita-citanya” di dalam laboratorium sekolah itu.

***

TIBALAH akhir masa sekolah. Akhir masa hura-hura, untuk menyongsong sebuah tahap yang lebih dewasa dalam upaya menjadi manusia.

Aku dan W berpisah. Sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta menerimaku sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi, sementara W masuk di jurusan farmasi salah satu universitas negeri di Surabaya.

Setelah itu tak lagi terdengar kabar dari W dan “cita-citanya” yang kutahu di petang itu.

Dalam berjalannya waktu, suasana pergaulanku di Yogya ternyata membuatku seperti masuk dalam nostalgia narkoba SMA. Karena hampir semua teman-teman SMA yang jadi pengguna tetap –hasil didikan W— juga memilih Yogya untuk tujuan studi tinggi. Dan memang, waktu itu Yogya bisa disebut “surga narkotika”; barang bisa didapat dengan mudah dan murah. Kuota untuk kota kami pun dipasok dari sini. Tak ingin terjerembab lebih jauh, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari universitas.

Selanjutnya aku menempuh studi di Surabaya, kali ini jurusan komunikasi. Sepertinya jalanku menuju cita-cita makin terbuka. Sementara itu, ketika aku di Surabaya, kudengar kabar dari kawan bahwa W sudah mengundurkan diri dari kampusnya, dan hanya semesta alam yang tahu kini ada di mana di.

Tak pernah lagi kudengar sepak terjangnya bersama narkotika. Tapi dalam hati aku berharap, semoga “cita-cita” yang diucapkannya di petang itu –yang bisa juga menjadi doa jika waktu diucapkan malaikat sedang melintas—hanyalah gurauan. Aku berharap dia bisa lepas dari dunia gelap itu dan hidup wajar seperti manusia kebanyakan.

***

OPTIMISME dan kerja keras akhirnya memberiku hadiah memuaskan berupa terwujudnya semua yang pernah kuangankan. Di usia 25 tahun, aku sudah menyandang predikat sebagai asisten redaktur sebuah surat kabar milik sebuah medua grup terkemuka di Jakarta. Di mana awalnya aku sangat menikmati dunia itu.

Tapi, asumsiku bahwa segala bentuk kebahagiaan dan harga diri bisa menjadi lengkap ketika cita-cita tercapai, ternyata salah. Pada posisiku itu, terjangan dari segala penjuru kian hebat dan goncangan makin dahsyat. Yang akhirnya membuatku bertanya; apakah memang harus kejenuhan seperti ini yang harus kudapat  setelah kerja keras dan proses panjang yang aku tempuh? Atau selama ini aku sudah memilih keyakinan yang salah dalam menjatuhkan pilihan?

Dan situasi sempat membuatku gamang ketika masih belum bisa kuambil keputusan tepat, karena pertimbangan ekonomi saja.

Malam nyaris menuju pukul dua belas tepat, dan aku yang mulai merasa tak bahagia hidup di tengah segala hal yang pernah aku impikan dulu sedang asyik menikmati sebotol bir sendirian di dalam kamar rumah kontrakan.  Berusaha untuk sejenak saja lari dari kenyataan, dan berharap imajinasi yang dibentuk oleh alkohol bisa memberiku inspirasi untuk mendapatkan jalan keluar.

Lalu telepon selulerku berbunyi. Kulihat layar, nomornya tak tercantum dalam memori ponselku. Bahkan, kode negaranya begitu asing; +670. Bukan Indonesia yang +62. Siapa?
Penasaran memaksaku untuk menjawab.

“Ya, hallo…”

“Sepertinya bapak redaktur kita tambah makmur saja, hahaha..”

Suara itu…… “Asu, ke mana saja kamu, suuuu….” Jawabku spontan karena aku langsung mengenal nada dan karakter suara W –kendati sembilan tahun sudah kami berpisah tanpa sekalipun pernah terhubung.

“Hahaha! Baguslah masih kamu ingat kawanmu yang aneh ini.”

“Hei, kau telepon pakai nomor apa? Di mana kau?”

“Maaf, pak redaktur, saya sedang bersenang-senang di Thailand untuk waktu yang sangat lama, hahaha.” Ah, dalam satirnya itu aku tahu apa yang hendak dia sampaikan; dia telah berhasil dalam hidupnya! Dan dia mendapat kegembiraan.

Tak seperti aku malam itu.

Dalam perbincangan itu dia mengisahkan sepak terjangnya. Dan ternyata, cita-cita yang diungkapnya pada petang di laboratorium sekolah itu bukan gurauan.

Dia masuk ke jurusan farmasi dengan tujuan untuk mengeksplorasi pengetahuannya tentang komposisi narkotika. Selama setahun dia habiskan banyak waktu di laboratorium dan mencari informasi dari berbagai macam buku dan internet.

Dan satu tahun dia rasa cukup untuk teori. Untuk praktek, dia memutuskan untuk melakukannya sendiri. Karena itu dia memilih mundur dari studinya dan hijrah ke Yogya, karena di kota budaya itu bahan yang dia butuhkan lebih mudah didapat. Dan tahap transisi itu dia lakoni bersamaan dengan keputusanku untuk meninggalkan studi di Yogyakarta lalu pindah Surabaya.

Bisa dibilang kami bertukar tempat.

Singkat kata, Yogya itulah dia sukses mempraktekkan ilmu yang didalaminya selama dua tahun, jika tahun akhir masa SMA juga dihitung. Dia mulai dari produksi narkoba ala industri rumah tangga. Dengan kecerdasannya, W memanfaatkan minimnya fasilitas untuk mendapatkan hasil maksimal.

Awalnya dia perkenalkan racikannya ke “anak-anak didiknya” masa SMA dulu, yang sedang kuliah di Yogya, hingga akhirnya dia bisa membangun jalur distribusi yang lebih luas. Dari situlah level W di dunia narkoba naik dua tahap sekaligus; bandar sekaligus produsen. Jika dilihat dengan koridor profesi, dia menempuh “jalur karir” dari bawah; mulai dari pemakai, pengedar, bandar, hingga akhirnya jadi produsen.

Untuk tahap demi tahap yang dilakoninya secara konsisten itu, sebenarnya tak beda jauh dengan yang sudah aku lakoni. Mulai dari magang, reporter junior, senior, asisten redaktur, hingga redaktur. Tapi, di dunia yang digelutinya itu, W telah mencapai posisi puncak. Aku belum.

Dan celakanya, aku sedang bingung. Jalanku menuju puncak sedang buntuk. Sepertinya nyaris mustahil aku bisa seperti W di dunia yang kugeluti.

Jamaknya “pengusaha narkoba” lain, aktivitasnya juga terendus polisi, pada akhirnya. Tapi dia punya cara untuk bisa selalu lepas dari jerat pidana dengan cara –jika meminjam istilah Vito Corleone dalam “Godfather”—“memberikan tawaran yang tak bisa ditolak”. Dan dia sukses.

Semua berjalan lancar. Bandar-bandar besar yang dibekuk polisi dan dipamerkan pada publik melalui media sebagai bentuk keberhasilan polisi itu, kata W, sebagian besar adalah distributornya yang bermasalah dan “harus diberi pelajaran”.

Sepertinya aku tahu, simbiosis mutualisme apa yang ditawarkan W pada aparat. Keamanan posisi W ditukar dengan “keberhasilan” polisi.

Hingga akhirnya, di tahun 2008 itu, dia berhasil membeli sebuah rumah mewah di kawasan elit Thailand. Di mana persisnya, dia tak mau sebut. Soal bagaimana dia dapatkan nomorku, dia hanya menjawab; “Memang kamu pikir cuma jurnalis saja yang punya sumber informasi akurat? Bandar lebih akurat, bos.”

Ah, ada-ada saja kau W.

Setelah bertukar kisah dan pembicaraan ngalor-ngidul tak jelas selama hampir dua jam itu –di mana dia yang harus keluar ongkos untuk sambungan internasional menghubungiku yang tentunya tak bisa dibilang murah—kami tutup dengan input darinya. Aku memang menceritakan sedikit masalahku tentang kebahagiaan dan upaya untuk meraih puncak cita-cita.

“Jika kau sudah merasa tak bahagia di duniamu, carilah kebahagiaan di bagian lain. Hidup itu hanya sebentar. Rauplah kebahagiaan sebanyak-banyaknya.”

Di akhir percakapan, dia mengingatkan, jangan coba menghubungi nomor yang dia gunakan untuk menelponku itu. Karena, katanya, percuma. Nomor itu akan langsung tak aktif begitu sambungan kami terputus.

Ah, dasar bandar. Paranoid.

Tapi, walau bagaimanapun, harus aku akui W jauh lebih cerdas dan ulet dariku. Dia lebih konsisten pada jalurnya –di mana aku yakin rintangannya jauh lebih besar daripada yang pernah dan sedang aku hadapi.

Kesungguhan niatnya untuk mencapai puncak cita-cita dan mendapat kebahagiaan di dalamnya, mengganjar W dengan segala bentuk kemerdekaan ekonomi dan jiwa –terlepas dari berapa juta manusia yang kehidupan ekonomi dan kemerdekaan jiwanya dia rampas.

Yah, mungkin aku terlalu manja. Juga tak terlalu mempercayai konsistensiku sendiri. Dua hal yang tentunya tak dikenal W.

***

DUA tahun berselang sejak pembicaraanku dan W malam itu.

Sepanjang itu pula tak lagi pernah kudengar selintas pun kabar dari dia. Hingga akhir 2010, aku mengambil keputusanku sendiri untuk meraih bahagia; kutinggalkan dunia cita-cita yang pernah aku raih.

Menapaki sendiri dunia baru, untuk membangun cita-cita baru demi kebahagiaan yang lebih utuh dan ikhlas. Yang di tengah prosesnya, aku harus menerima berbagai macam hantaman dan cercaan, sampai aku nyaris kembali terperosok dalam dunia yang “membahagiakan” W itu. Hampir kembali terjerembab di masa-masa gelap.

Tapi akhirnya aku bergegas keluar. Dan aku kembali pada kebahagiaan lamaku yang pernah kutinggal karena gemuruh narkotika dan rewelnya cita-cita yang harus kupenuhi; mendaki gunung.

Pada sebuah reuni sekolah akbar kami di tahun 2011, seluruh kawan yang sudah 12 tahun berpisah berkumpul membawa keberhasilan masing-masing. Riuh-rendah tawa memenuhi ruang ketika kami bernostalgia dengan cerita-cerita tentang kebodohan dan cinta monyet masa SMA.

Dan di tengah keriuhan itu, tentu saja tak ada W yang menurutku waktu itu tidak mungkin muncul di tengah keramaian.

Tapi kesimpulan itu harus aku koreksi setelah penggebuk drum band kami dulu mengabarkan bahwa W telah meninggal akibat penyakit dalam kronis dan akut, setahun sebelum reuni itu. Atau bersamaan dengan keputusanku meninggalkan dunia media yang membuatku canggung.

Napasnya berakhir di Probolinggo, Jawa Timur, saat umurnya baru 28 tahun, meninggalkan seorang istri dan dua anak yang masih kecil. Soal bagaimana dia bisa sampai di Probolinggo, setelah terakhir yang kutahu dia di Thailand, tak ada yang tahu prosesnya.

Sebelum meninggal, kata kawanku, W mendonasikan separuh harta kekayaannya itu yang bejibun untuk beberapa panti asuhan di Jawa Timur. Yang separuh lagi untuk kelanjutan hidup istri dan dua anaknya, yang semestinya jumlahnya lebih dari cukup.

W mati muda setelah dia berhasil mewujudkan semua hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Segala kenikmatan yang bisa dia raih sangat cepat tapi hanya bisa dia nikmati dalam waktu singkat.

Dalam hidupmu itu, W, kau benar-benar teguh. Semua yang kau ucapkan pasti kau jalankan. Termasuk wejanganmu padaku saat pembicaraan terakhir kita.;

“Hidup itu hanya sebentar. Rauplah kebahagiaan sebanyak-banyaknya.”

Yah, mungkin kebaikan W pada anak yatim jelang ajal itu bisa memberinya sedikit kebahagiaan "di sana". Tuhan Maha Baik.



Sidoarjo, 7 Februari 2013
Selalu ada kebaikan dalam diri manusia, kendati hanya sebesar biji zarah.


No comments:

Post a Comment