Sekadar guyonan akhir pekan, tentang bagaimana kebanyakan umat menempatkan Tuhan:
SYAHDAN, dalam sebuah perjalanan, seorang ulama, pendeta, dan (orang yang dicap) atheis lantaran tak pernah (terlihat) menjalankan ritual, duduk di bilik yang sama dalam sebuah gerbong kereta malam. Mereka hendak menghadiri sebuah acara "kumpul bareng" seluruh aliran kepercayaan yang ada di Bumi.
Sepanjang perjalanan, kiai dan pendeta terus berbincang tentang ke-Maha-an Tuhan. Dan karena sifat itulah Pak Kiai dan Bapa Pendeta menyembah Zat Serba-Maha.
Berhubung yang dibahas adalah "sesuatu" yang (menurut dua pemuka agama besar di dunia itu) tidak dipercayai oleh si Atheis, jadilah "orang yang yakin Tuhan tidak ada" itu tak dilibatkan dalam perbincangan.
Mau tak mau si Atheis harus hanya jadi pendengar setia.
Di tengah perjalanan, mendadak lampu bilik padam. Ruangan gelap gulita. Percakapan antara ulama dan pendeta ikut padam. Tiga orang dalam bilik sama-sama diam.
Setelah beberapa menit, byar, tiba-tiba lampu menyala kembali. Baik kiai, pendeta, maupun atheis sama-sama lega. Dua “yang beragama” berancang-ancang melanjutkan obrolan puja-puji mereka untuk Tuhan. Yang tak beragama siap-siap jadi pendengar lagi.
"Waktu lampu padam tadi, apa yang anda lakukan, Pak Kiai," tanya pendeta pada sang ulama.
"Tentu saya terus-menerus berdo'a minta agar Allah SWT yang Maha Baik, Maha Pengasih, dan Maha Pemurah menolong kita agar yang gelap dijadikan terang dan perjalanan kereta lancar, selamat sampai tujuan. Alhamdulillah, dikabulkan. Allah memang Maha Pemurah," jawab Pak Kiai.
"Sedangkan Anda, Pak Pendeta, apa yang anda lakukan saat gelap tadi?" Pa Kiai menanya balik.
"Saya juga terus memanjatkan doa dan puji-pujian pada Bapa di Surga dan Yesus Raja Manusia, agar kegelapan ini segera berlalu. Kegelapan membuat kita menjadi buta dan Yesus adalah penerangnya. Doa saya juga dikabulkan karena kebaikan-Nya," jawab si Pendeta lugas dan puas.
Lalu, dengan kompak yang otomatis, Pak Kiai dan Bapa Pendeta sama-sama berpaling pada si Atheis, lalu bertanya "Kalau kamu, apa yang kamu kerjakan selama lampu mati?" dengan nada sinis.
Yang ditanya menjawab santai; "Oh, kalau saya cuma berdiri di atas kursi dan membetulkan lampu. Rupanya kendur, makanya mati."
Jawaban itu membuat Pak Kiai dan Pak Pendeta, dengan sikap yang masih tetap kompak, menyudahi obrolan soal obral pujian pada Tuhan, dan "menemani" si Atheis menikmati perjalanan dalam diam yang tak berisik.
Keduanya seperti tertampar dan insyaf, bahwa Tuhan, melalui agama, tidak memerintahkan umat menghabiskan hidup dengan hanya memuja-muji-Nya sampai berbusa-busa.
Tuhan tidak gila sanjungan.
Agama adalah pesan Tuhan untuk mengajak manusia berbuat dan mendatangkan manfaat bagi seluruh umat --apapun namanya atau bagaimanapun ajaran yang dibawa agama itu.
Karena itulah manusia dianugerahi akal-budi.
Juga hati.
No comments:
Post a Comment